Peserta Pelatihan Agribisnis Padi Kenalkan Kondisi Pertanian di Enam Negara Afrika
LEMBANG – Mengawali pelatihan “International Training Course on Rice Agribusiness for African Countries” (Pelatihan Internasional Agribisnis Padi bagi Negara-Negara Afrika), masing-masing peserta menyampaikan country report berkaitan kondisi produksi padi di negaranya.
Dipandu Widyaiswara BBPP Lembang, Shinta Andayani dan Chesara
Novatiano, peserta berkumpul di ruang kelas krisan I pada Selasa (8/11). Ini
merupakan sesi awal pelatihan yang bertujuan agar peserta mengenal kondisi
produktivitas padi dan produksi beras di masing-masing negara.
Sesi presentasi diawali oleh Mohammed Ali Sh. Abdi, peserta asal
Somalia. Disampaikan Abdi, beras merupakan salah satu makanan pokok ketiga
setelah sorgum dan jagung. Varietas yang banyak dikembangkan yakni IR22 dan
IR24 “The average rice productivity at the farmer level is 1.5 to 2 tons per
hectare. Low yields are caused by various factors such as a lack of quality
seeds and low knowledge of production technology (Rata-rata produktivitas
padi di level petani adalah 1.5 hingga 2 ton per hektar. Hasil panen yang
rendah disebabkan oleh berbagai faktor seperti kurangnya benih berkualitas dan
rendahnya pengetahuan teknologi produksi),” jelasnya.
Dilanjutkan oleh Evans Mutelo, peserta asal Zambia yang
menyampaikan bahwa produksi beras menjadi salah satu sub sektor pertanian utama
yang dapat memberikan kontribusi signifikan terhadap pertumbuhan perekonomian
di negaranya. “The agriculture that can significantly contribute to the
growth of the Zambian economy and create more jobs (Sektor pertanian lebih
banyak menciptakan lapangan pekerjaan),” ungkapnya.
Peserta ketiga dari Tanzania, Mariam Joshua, mempresentasikan country
report dari negaranya. Disampaikan Mariam, pertanian memegang peranan
penting di Tanzania sebagai sumber pangan, nutrisi, hingga pendapatan dan
pekerjaan mayoritas masyarakat di sana, terutama di wilayah pedesaan. “Rice
production in Tanzania amounted to approximately 3.2-3.4 million metric.
Currently there are six traditional irrigation schemes and nine mechanized
irrigation schemes (Produksi beras di Tanzania adalah sekitar 3.2-3.4 metrik
ton. Terdapat enam skema irigasi tradisional dan irigasi mekanis yang
digunakan),” paparnya.
Presentasi dilanjutkan dengan peserta dari Guinea. Mamadou
Gandeka, menyampaikan bahwa “In Guinea, rice is the main food crop, with 67%
of sown areas, 23% of primary GDP and 6% of national GDP (Di Guinea, beras
merupakan tanaman pangan utama, dengan 67% luas tanam, 25% PDB primer, dan 6%
PDB nasional)”. Diakui Gandeka, modernisasi subsektor pertanian memerlukan
sinergi yang sempurna dari Perusahaan agroindustri, Lembaga negara, hingga ke
lingkup terkecil yakni kelompok tani.
Ia juga menceritakan masih banyak budidaya yang menggunakan benih
berkualitas rendah. Ini disebabkan akibat kurangnya koordinasi antara
penelitian, perbanyakan, pengendalian mutu, dan sertifikasi.
Peserta asal Gambia, Isatou S Sillah melanjutkan sesi presentasi.
“The Gambia’s preferred staple food is rice, which is cultivated primarily in
the lowlands of the country as a subsistence crop (Makanan pokok di Gambia
adalah beras yang dibudidayakan terutama di dataran rendah sebagai tanaman
subsisten),” jelasnya. Lebih lanjut dirinya memaparkan bahwa konsumsi beras di
negaranya adalah 117 kg/kapita/tahun. Sementara kebutuhan tahunan mencapai
sekitar 199.000 MT, dengan produksi lokal 30%. Karenanya, Gambia melakukan
impor untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri.
Terakhir, peserta asal Senegal, Kaire Diongue, memaparkan kondisi
produksi padi di negaranya. “Rice is the most consumed food commodity after
millet and corn. However, local troops only meet 35% of consumption needs of
around 1.8-1.9 million tons (Beras adalah komoditas pangan paling banyak
dikonsumsi setelah millet dan jagung. Namun, pasukan lokal hanya memenuhi 35%
kebutuhan konsumsi sekitar 1.8-1.9 juta ton),” jelasnya. Lebih lanjut, Ia juga
memaparkan rata-rata konsumsi tahunan sekitar 100 kg/kapita.
Pelatihan internasional menjadi salah satu upaya Kementerian
Pertanian dalam menjalin diplomasi dan memastikan ketahanan pangan di kancah
internasional. Dinyatakan Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman, pangan menjadi
aspek paling strategis yang wajib dibangun bersama.
Sementara itu, Kepala Badan Penyuluhan dan Pengembangan Sumber
Daya Manusia Pertanian (BPPSDMP) menyatakan bahwa pelatihan ini memberikan
kontribusi khususnya bagi negara-negara Afrika dalam meningkatkan
produktivitas. Ia juga berharap seluruh peserta dapat menerapkan ilmu yang
didapat ketika kembali ke negaranya. (DRY/YKO)
Editor: Abd. Rohim