Eco-Enzyme, Mudah Dibuat Sejuta Manfaat
Bertani on Cloud atau BOC kembali menyapa SobatTani di pertengahan September. Kali ini Balai Besar Pelatihan Pertanian (BBPP) Lembang berkesempatan menjadi host penyelenggara BOC pada Kamis (14/9).
Berkolaborasi dengan Pusat Pelatihan Pertanian Pedesaan Swadaya (P4S) Tri Karsa Inti Rakyat, BOC volume 235 ini mengangkat tema “Eco-Enzyme Alternatif Cerdas Menekan Dampak Perubahan Iklim”.
Kepala Badan Penyuluhan dan Pengembangan Sumber Daya Manusia Pertanian
(BPPSDMP), Dedi Nursyamsi membuka kegiatan tersebut. Dedi mengawali dengan
pentingnya mengolah limbah organik sebagai salah satu upaya mengatasi perubahan
iklim yang disebabkan oleh gas metana yang timbul dari limbah sampah organik
tersebut.
“Bumi kita sudah panas, semakin banyak sampah yang dihasilkan, semakin
banyak pula gas metana yang dilepaskan. Itulah salah satu yang menyebabkan bumi
terasa semakin panas,” kata Dedi.
Ini sesuai dengan arahan Menteri Pertanian, Syahrul Yasin Limpo yang
mengimbau seluruh insan pertanian untuk kembali pada pertanian organik.
“Pertanian organik adalah bertani dengan bahan-bahan organik. Ini jelas lebih
sehat bagi tanah dan bagi kita yang mengkonsumsi produk pertaniannya,” kata
Mentan.
Sesi pertama BOC
dipandu oleh Fiadini Putri, Widyaiswara BBPP Lembang. Sesi ini diisi dengan
pengenalan P4S Tri Karsa Inti Rakyat oleh Ketua P4S, Meliyarta. Pada
kesempatannya Ia menceritakan perjalanan P4S yang telah berdiri sejak 2016 ini.
Turut hadir Mamik Winiastuti, selaku penyuluh pendamping dari P4S. Ia
menjelaskan pentingnya peran penyuluh dalam membina P4S di wilayah
masing-masing.
Sesi kedua diisi
dengan materi utama yakni praktik pembuatan eco-enzyme. Widyaiswara BBPP
Lembang, Chesara Novatiano bersama Dinny Retnawati dari P4S mengajak ribuan
peserta yang telah berbagung untuk membuat eco-enzyme. Alat dan bahan yang
digunakan antara lain: toples atau penyimpanan dengan penutup yang lebar,
limbah organik (sampah buah-buahan seperti kulit buah dan sayuran basah), air,
serta molase (dapat diganti dengan gula merah).
Dinny menegaskan
bahwa takaran yang digunakan harus sesuai. “Rumus pembuatan eco-enzyme telah
melewati berbagai penelitian yang sangat panjang. Karenanya proses pembuatannya
harus sesuai dengan takaran yang ditentukan agar hasilnya maksimal, yakni
3:1:10 untuk limbah buah/sayur, molase, dan air,” jelas Dinny.
Eco-enzyme
kemudian disimpan selama tiga bulan di tempat yang aman dari paparan matahari
dan barang-barang elektronik. “Simpan eco-enzyme dalam toples yang permukaannya
lebar sehingga ruangnya cukup banyak dan tidak meledak. Jika tidak ada toples,
bisa menggunakan botol, namun harus dibantu dengan pemasangan balon pada
tutupnya. Kita juga biasanya menambahkan sereh agar eco-enzyme tersebut lebih
beraroma,” lanjut Dinny memberikan tips.
Ia kemudian
menjelaskan bahwa pengolahan limbah menjadi eco-enzyme mampu menjadi salah satu
solusi menekan dampak perubahan iklim mulai dari lingkup rumah tangga.
Setelah
mempraktikkan tahapan pembuatan eco-enzyme Dinny menunjukkan berbagai produk
olahan eco-enzyme produksi P4S yang ternyata kaya akan manfaat. Tidak hanya
sebagai pupuk organik cair, eco-enzyme juga dapat dibuat berbagai produk
turunan seperti: sabun sirih, sabun cuci tangan, face mist, sabun cuci
piring, pembersih lantai, dan lainnya.
Diakui Dinny,
produk berbahan dasar eco-enzyme ini dapat bekerja dengan optimal seperti
halnya produk kimia
Sesi terakhir
diakhiri dengan diskusi. Meli dan Dinny menjawab berbagai pertanyaan dari
peserta yang mengikuti via Zoom Meeting maupun live streaming Youtube. Nampak
peserta sangat antusias mengajukan berbagai pertanyaan, terutama berkaitan
dengan cara pembuatan eco-enzyme. Pada kesempatannya Dinny juga memberikan tips
bagi peserta yang sudah pernah membuat eco-enzyme, namun belum maksimal
disebabkan adanya kontaminasi.
Tercatat tidak
kurang dari 500 peserta menyaksikan melalui Zoom Meeting dan 1.859 lainnya
bergabung di live streaming Youtube.