Komunikasi Non-Verbal Widyaiswara

KOMUNIKASI NON-VERBAL WIDYAISWARA
DALAM PROSES PELATIHAN

 

bbpplembang-RH.jpgKomunikasi non-verbal merupakan hal yang amat penting diperhatikan untuk mencapai keberhasilan dalam suatu pelatihan. Sebab, para peserta-latih tidak hanya memperhatikan kata dan kalimat yang diucapkan pelatih/widyaiswara, tapi juga mencermati berbagai lambang lain diluar kata-kata. Misalnya, bagaimana seorang widyaiswara menampilkan diri dari segi pakaian, sikap, nada suara, aspek waktu, serta penggunaan fasilitas pelatihan. Hal ini merupakan bagian dari komunikasi non-verbal yang perlu dikelola dengan baik. 
Komunikasi dalam pelatihan merupakan penyampaian bahan/materi pelajaran dari seorang widyaiswara kepada peserta-latih. Proses komunikasi ini akan berjalan baik dalam mencapai tujuan pelatihan, banyak tergantung kepada kemampuan widyaiswara memanajemeni proses komunikasi pelatihan, disamping penguasaan materi pelajaran yang akan disampaikannya. 

 

Kemahiran berkomunikasi merupakan seni (art) dari seseorang. Kemahiran tersebut bisa berlangsung dan meningkat sesuai dengan pengetahuan dan pengalaman widyaiswara. Bagi seseorang yang baru pertama kali mengajar atau melatih dan berbicara di hadapan orang banyak, pasti sangat terasa sulitnya berkomunikasi menyampaikan materi pelajaran. Apalagi bila yang dihadapinya itu adalah orang-orang dewasa yang telah berpengalaman dan umurnya lebih tua dari widyaiswara tadi. 

Namun bagi widyaiswara yang sudah berpengalaman banyak, hal ini bahkan merupakan tantangan yang cukup menyenangkan. Dia bisa mengatur waktu dan acara-acara pembelajaran dengan seksama, sesuai dengan rencana yang telah dipersiapkan sebelumnya. 

Salah satu aspek yang perlu dipertimbangkan yang mempengaruhi berhasil tidaknya proses komunikasi dalam pelatihan adalah komunikasi non-verbal yang ada pada widyaiswara. Dari hasil penelitian para ahli komunikasi dan manajemen, ternyata pengaruhnya cukup besar. Ketika kita berkomunikasi tatap muka, kita banyak menyampaikan gagasan atau pikiran kita lewat pesan-pesan non-verbal. 
Komunikasi non-verbal adalah: ”Proses penyampaian informasi dari seseorang kepada orang lain tanpa mempergunakan bahasa (lisan maupun tulisan), tetapi dilakukan melalui sikap badan, ekspresi wajah, gerak isyarat, pandangan (tatapan), sentuhan, penampilan dan sebagainya. Bahkan termasuk parfum yang digunakan oleh seseorang”. 

Dari beberapa uraian teori komunikasi, sangat jelas tentang peran dan pentingnya komunikasi non-verbal dalam menyukseskan kegiatan pelatihan. Karena itu, logis apabila widyaiswara perlu lebih memahami, menghayati, dan mempertimbangkan secara seksama aspek-aspek non-verbal dalam proses pelatihan, antara lain: 

 

1. Penampilan. Penampilan diri memegang peran penting dalam pergaulan dan hubungan kita dengan orang lain, entah secara positif maupun negatif. Penampilan diri yang baik mempercepat perkembangan keakraban dan saling percaya bbpplembang-Widya01.jpgdengan orang lain. Berkat penampilan kita yang baik itu, orang akan merasa enak di sekitar kita dan mempermudah komunikasi dengannya. Sebaliknya, penampilan yang tidak baik akan menghambat suasana hubungan pribadi dan komunikasi. 

Seorang widyaiswara hendaknya memperlihatkan penampilan yang penuh perhatian kepada peserta latih, ramah, penuh gairah, semangat, serius  namun tidak kaku. Penampilan yang sebaliknya seperti tidak simpati, marah-marah, maupun emosional, bisa menghambat jalannya proses pelatihan. Kelemahan ini bisa dihindari apabila widyaiswara mempersiapkan diri untuk mengajar. 

2. Pakaian dan asesoris. Kesan pertama merupakan kesan abadi. Kesan pertama merupakan dampak awal yang kita dapat dari orang lain yang kita jumpai. Kesan pertama itu diakibatkan antara lain oleh pakaian, suara, sapaan, jabat tangan, pandangan mata dan sikap tubuh kita. Cara kita mengatur, menggunakan dan menggabungkan semua hal itu bbpplembang-Widya02.jpgmerupakan faktor yang mempunyai dampak besar bagi orang yang berjumpa dengan kita untuk pertama kali. 

Pada umumnya, kesan pertama yang baik menjadi awal hubungan yang baik dan komunikasi yang lancar, dan kesan pertama yang buruk menjadi permulaan hubungan yang jelek dan komunikasi yang tersendat. Oleh karena itu, meskipun hal-hal tersebut seperti sepele, kita perlu perhatian yang seksama terhadap semua itu, sesuai dengan kebutuhan, situasi, dan orang yang hendak kita temani. Jika tidak, maka kita sendiri yang akhirnya akan mendapatkan getahnya. 

Seringkali penampilan widyaiswara banyak dipengaruhi oleh pakaian yang dikenakan sewaktu melaksanakan pelatihan. Kalaupun memakai pakaian dinas (PSH, PSL atau lain-lain), hendaknya tidak memberikan kesan menyeramkan atau menakutkan, sehingga suasana latih-berlatih tidak kaku. Kerapihan berpakaian akan mencerminkan kepribadian seseorang. 

3. Nada dan Volume suara. Dalam berkomunkasi dengan orang lain, kita tidak hanya berkata-kata dan berbicara, tapi bbpplembang-Widya03.jpgjuga dibarengi dengan nada suara yang berubah-rubah serta gerak gerik tubuh atau bagian-bagian tubuh seperti raut wajah, mata, alis dan tangan. Nada suara dan gerak-gerik tubuh itu mempengaruhi isi dan cara kita berkomunikasi dengan orang lain dan mengundang tanggapan yang berbeda dari mereka. 

Volume suara yang melengking serta tergesa-gesa hendaknya dihindari. Suara dan gaya bicara yang berkesan ramah, tenang, meyakinkan, tidak menyinggung perasaan para peserta-latih, akan memberikan kesan bahwa widyaiswara tersebut penuh wibawa dan punya kredibilitas kuat. 

4. Keterbukaan. Dalam setiap sesi pelatihan, hendaknya dibuka seluas-luasnya susana keterbukaan serta proses bbpplembang-Widya04.jpgtanya-jawab. Adakalanya seorang widyaiswara tidak mampu menjawab pertanyaan peserta latih. Tak usah panik dan malu untuk dikatakan tidak menguasai masalah yang dipertanyakan. Teknik melempar kembali pertanyaan tersebut kepada peserta lain secara bijaksana adalah salah satu jalan keluarnya. 

Karenanya, kegiatan diskusi dalam proses pelatihan sangatlah diperlukan. Hal ini sejalan dengan prinsip-prinsip Andragogy (metodologi mengajar orang dewasa), yang menyarankan agar proporsi presentasi widyaiswara cukup 40%. Sedang sisa waktu yang 60% hendaknya digunakan untuk proses diskusi para peserta latih. Widyaiswara cukup sebagai fasilitator. 

5. Alat-bantu pengajaran (training aids). Seorang widyaiswara hendaknya bbpplembang-Widya05.jpgmempersiapkan alat bantu pengajaran seperti: overhead projector, transparansheet, hand-out, white board, infocus dan lain-lain, sesuai dengan kebutuhan dan situasi pelatihan. Bagaimana menggunakan alat-bantu pengajaran ini, perlu benar-benar dikuasai para widyaiswara. 

Biasanya kesalahan kecil dalam penggunaan alat bantu ini bisa menimbulkan fatalnya proses belajar.  Karenanya perlu persiapan yang matang sebelumnya. Contohnya, apakah overhead projector lampunya jalan atau cukup terang? Apakah white-board  telah tersedia lengkap dengan spidolnya? 

6. Penggunaan ruangan. Yang dimaksud dengan penggunaan ruangan di sini adalah kemahiran widyaiswara dalam bbpplembang-Widya06.jpgmengatur ruangan dan peralatannya (kursi, meja, dan sebagainya), sehingga tidak mengganggu atau mempengaruhi proses belajar peserta-latih. Sebagai contoh, biasanya ada widyaiswara yang terlalu banyak duduk dibelakang meja dihadapan kelas belajar. Suasana akan lebih kaku lagi apabila sewaktu widyaiswara menjelaskan sesuatu materi latihan, banyak membelakangi peserta. 

Widyaiswara hendaknya secara penuh menguasai seluruh ruangan. Tidak hanya terus nongkrong di salah satu sudut ruangan kelas saja atau tetap terpaku di atas podium tempat pidato. Bila diperlukan, widyaiswara dapat secara santai dan ramah mendatangi tempat duduk peserta-latih untuk minta penjelasan, atau menanyakan sesuatu. 

7. Waktu. Ketepatan menggunakan waktu yang dialokasikan kepada widyaiswara, hendaknya dimanfaatkan sebaik-baiknya. Oleh karena itulah, penyiapan SAP (satuan acara pembelajaran) dari seorang widyaiswara memang benar-benar diperlukan. Tidak hanya berguna sebagai alat kontrol dari pimpinan Diklat, tapi juga sebagai pegangan widyaiswara dalam memanajemeni proses pelatihan. 

Hindari kesan menghabiskan waktu hanya untuk sekadar memperkenalkan diri semata-mata. Jadwal waktu yang tertulis dalam SAP berikut acara-acara yang akan dilaksanakan, sebaiknya disampaikan dan dirembukkan dengan peserta-latih. Hal ini sejalan dengan prinsip pembelajaran orang dewasa (Andragogy). 

8. Ambiguity (sikap mendua). Apabila seorang widyaiswara menjelaskan A hendaknya terdukung oleh sikap dan perilaku yang ada kaitannya dengan A tadi, bukan sebaliknya. Misalnya, apabila widyaiswara  menjelaskan kepadabbpplembang-Widya08.jpgtransparantsheet yang baik, tulisan, gambar, atau teknik penyajiannya, maka dia sendiri harus mempraktekannya dalam proses pelatihan seperti apa yang telah dijelaskan kepada peserta-latih.  peserta-latih tentang perlunya pembuatan

Contoh lain, apabila widyaiswara menyatakan proses pelatihan akan dilakukan secara terbuka demokratis, namun pada kenyataannyadia terus mendominasi pembicaraan selama satu sesi pelatihan. Bahkan tidak membuka kesempatan sediktpun kepada peserta-latih untuk bertanya. Sikap ambiguity inilah yang harus dihindari oleh setiap widyaiswara. 

9. Memanajemeni pelatihan. Yang dimaksud dengan butir ini adalah kemampuan widyaiswara untuk memanajemeni proses pelatihan, sehingga tercapai tujuan pelatihan sebagaimana tersurat didalam SAP. Pelatihan adalah suatu proses dari suatu kesisteman pembelajaran yang harus dimanajemeni  secara seksama. 

Artinya, komponen-komponen pelatihan seperti tujuan, materi, alat bantu, waktu, biaya, widyaiswara, peserta latih dan sebagainya, perlu dimanajemeni secara seksama sehingga tercapai tujuan pembelajaran secara mangkus dan sangkil. Dan yang terpenting adalah timbulnya kepuasan peserta-latih.

 

___________________________