Produksi Pangan secara Tradisional

MENCERMATI PRODUKSI PANGAN
SECARA TRADISIONAL ALAMIAH

 
 

bbppl-beras.jpgSejak tahun 60-an penggunaan teknologi baru dalam peningkatan produksi pangan terutama padi mulai diperkenalkan dan terus diterapkan dalam rangka peningkatan produksi pangan, terutama beras. Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor, tahun 1963 mempelopori mengadakan pilot proyek di Kabupaten Karawang dalam skala kecil, dengan memperkenalkan berbagai teknologi baru: teknologi biologi (benih unggul), teknologi kimia (pupuk anorganik, insektisida, pestisida), teknologi sosial (kontak-tani, kelompok tani), teknologi ekonomi (koperasi tani).

Dari pengalaman dan keberhasilan pengetrapan berbagai teknologi baru tersebut, maka strategi peningkatan produksi pangan terutama padi terus dikembangkan melalui program INMAS, BIMAS di seluruh wilayah Indonesia. Aplikasi teknologi ini mendapatkan pengawalan ketat baik dari penyuluh pertanian (PPL dan PPS), maupun para pejabat pemerintah, mulai dari para petinggi pusat (Presiden, Menteri), para pejabat daerah (Gubernur, Bupati, Camat, lurah dsb.). Akhirnya swasembada beras dapat tercapai pada tahun 1984. Indonesia diakui sebagai negara agraris yang dinilai oleh FAO, sebagai negara yang telah berhasil swasembada beras. Bahkan sampai bisa ekspor dan mengirim bantuan pangan ke beberapa negara Afrika.
 
Menjelang akhir tahun 2000-an upaya dan strategi peningkatan produksi beras ini mengalami kemunduran. Apalagi setelah dikeluarkannya Undang-undang Otonomi Daerah. Sampai kini awal tahun 2009, pola dan strategi peningkatan produksi beras terus mengalami perubahan. Termasuk struktur organisasi yang dahulu pernah terkenal yaitu sistem BIMAS mulai dihapuskan, berubah nama, atau tergabung dalam struktur organisasi baru. Setiap daerah berbeda bentuk dan nama, tergantung dari persepsi dan pemikiran pemerintah daerah terutama di kabupaten.
 
Tak bisa dipungkiri, kini petani agak sulit mencari dan membeli sarana produksi terutama  pupuk. Jangankan yang bersubsidi, yang bebaspun alias tak bersubsidi, sulit memperolehnya. Demikian dinyatakan oleh beberapa petani di Tarogong Garut . Kini tak ada lagi kawalan ketat dari para penyuluh. Dibeberapa daerah, ada berbagai upaya untuk mengganti pemakaian teknologi kimia ini terutama pupuk, mulai beralih kepada penggunaan pupuk alam alias pupuk organik. Istilah yang sedang ngetren back to nature, kembali ke alam. Dengan kata lain upaya tradisionalpun, yang dulu pernah dilupakan kini bisa diterapkan kembali.
 
Selain penggunaan pupuk alam/ organik, ada beberapa catatan lain mengenai cara-cara tradisional, yang barangkali bisa dijadikan perhatian dan pertimbangan. Indo­nesia, memang kaya akan sum­ber daya alam. Un­tuk tanaman saja Indonesia memiliki 12.000 spe­sies jamur, 1.800 spesies rum­put laut, 1.250 spesies pakis, 25.000 spesies tanaman ber­bunga, 1.500 jenis tanaman obat, dan banyak lagi, karena masih ribuan yang belum di­ketahui.
 
Nyatanya masyarakat kita menggemari produk pangan serba Bangkok, buah-buahan impor, dan junk food. Dan kita pernah/masih mengimpor ribuan ton beras, kedele, jagung, dan gan­dum, dengan volume yang cukup tinggi. Namun, begaimana kekaya­an pangan kita sendiri yang sudah dipelihara dan dilesta­rikan sejak berabad-abad da­lam pertanian tradisional ?
 
Hutan tropis kita adalah sumber pangan yang amat ka­ya. Pertanian tradisional Indo­nesia mengikuti ekosistem hutan dengan berbagai teknik budidaya sawah dan ladang, termasuk lahan kritis. Cara ini melahirkan kekayaan tanam­an pangan luar biasa, meliputi 450 spesies buah, 360 spesies sayuran, 70 spesies umbi, 60 spesies tanaman penghasil mi­numan, 50 spesies rempah ­rempah, 100 spesies kacang ­kacangan.
 
Sebelum ilmuwan, peme­rintah atau lembaga swadaya masyarakat bertindak, petani tradisional kita telah menerap­kan pola tanam campuran, dengan menanam aneka tanam­an disuatu lahan. Jika tanaman yang satu gagal panen, tanam­an lain masih menghasilkan. Pupuk kimia atau pestisida ti­dak dibutuhkan, karena keane­kaan tanaman otomatis dapat mengendalikan hama. Selain itu daun-daunan yang bergu­guran dari keanekaan tanam­an itu menjadi pupuk alam.
 
Misalnya, pohon karet di ke­bun hutan Maninjau, Sumate­ra Barat, diselingi dengan du­rian, lengkeng, kopi, pala, ceng­keh dan rempah-rempah. Rem­pah-rempah dan durian dari kebun di desa-desa Sumate­ra Barat ternyata mampu meng­hasilkan hingga belasan juta rupiah per tahun dari setiap hektar.
 
Di Jawa, Sumatera dan Kalimantan, mereka juga me­nanam berbagai jenis tana­man bernilai ekonomi tinggi di luar lahan utama, seperti di pekarangan, pematang sawah, lereng, tebing, saluran air dan lahan kritis. Lahan ditanami ta­naman semusim dan tahun­an. Di Jawa saja, kebun cam­puran seperti ini bisa meng­hasilkan 48 pohon berkayu penghasil pangan dan 39 spesies herba.
 
Petani tradisional pun se­nantiasa arif. Mereka mela­rang orang untuk menebang pohon atau membunuh hewan tertentu, membatasi pengambilan hasil alam yang berlebihan dengan sanksi adat, menyelenggarakan upacara syukuran setiap panen, dan hanya mengambil ranting, da­han dan daun rontok untuk bahan bakar di rumah tang­ga. Setiap panen mereka me­milih dan menyimpan bibit ter­baik, bahkan melakukan pe­ngembangan lagi.
 
Kaum ibu di Lembah Bali­em, Irian Jaya misalnya, mam­pu menghasilkan ubi jalar rak­sasa melebihi kepala orang dewasa. Petani kita telah me­muliakan 11.690 jenis bibit pa­di yang dapat menyesuaikan diri di tempat berbeda. Suku Sakai di Riau memiliki, 16 je­nis bibit padi lokal. Demikian pula masyarakat di Kayan Mentarang, Kalimantan Timur menyimpan lebih dari 50 bibit padi lokal. Kalimantan memi­liki 19 dari 27 jenis durian liar. Penduduk Am­bon telah mengenal enam je­nis pohon sagu.
 
Sayang, dalam program pembangunan pertanian, pe­tani dilarang menanam bibit lokal, melainkan bibit unggul. Petani harus membeli pestisi­da dan pupuk kimia tertentu, membuat ongkos produksi naik. Setelah panen mereka harus menjual hasilnya den­gan harga tertentu pula. Per­tanian kita menjadi rawan ka­rena lahan pertanian sistem tunggal yang rentan hama. Bibit lokal terdesak dan teran­cam punah. Pengelolaan sum­ber daya alam secara massal tanpa kearifan mengakibat­kan penyusutan terus menerus. Orang terdorong mem­perluas penguasaan sumber daya alam untuk keuntungan materi belaka.
 
Petani kecil tergusur ke kota. Diperkirakan penduduk perkotaan Indonesia, meningkat lebih dari 40% total penduduk Indone­sia. Perkembangan kota ma­kin mendesak lahan pertani­an. Lalu lahan pertanian yang tersisa mesti diintensifkan de­ngan bahan kimia yang justru merusak. Di Eropa, seabad setelah revolusi industri, hu­tannya tidak menghasilkan cukup kayu, kebunnya tidak cukup menghasilkan serat pakaian, dan pertanian tidak cukup memberi makan. Akhir­nya mereka menyeberangi la­utan untuk menjarah dan membuat tanah jajahan.
 
Kini kawasan lindung, yang menyimpan sumber daya alam, masih ada seluas 49.110.230 hektar. Direktorat Jenderal PHPA (Perlindungan Hutan dan Pe­lestarian Alam) pernah mengusulkan penambahan 15.702.728 hektar. Di tingkat nasional pe­lestarian bibit yang terpusat pada tanaman komersial, ter­masuk tanaman pangan, mu­lai dilakukan beberapa pergu­ruan tinggi, Kantor Menteri Negara Riset dan Teknologi, dan Departemen Pertanian. Lem­baga-lembaga ini melakukan rangkaian penelitian dan pe­ngembangan bibit jangka pan­jang. Indonesia pun masih berpotensi mengembangkan hutan cadangan pangan mini­mal seluas dua juta hektar.
 
Sementara itu penduduk Indonesia sebanyak 220 juta jiwa mesti dengan pertambah­an 1,6% per tahun, mesti dihi­dupi. Kurang lebih 1,3 juta hek­tar hutan Indonesia dibuka se­tiap tahun, 61 % habitat alami rusak, dan 1.500 padi lokal le­nyap dalam 15 tahun terakhir. Nah siapkah kita untuk menghargai produk pangan lokal yang sebetulnya tidak kalah enaknya ?
 
Akhirnya, sekalipun Menteri Pertanian sudah menyatakan bahwa tahun 2009 kita akan surplus beras, bahkan akan mengekspor, tentunya berbagai cara dan upaya perlu dilakukan dengan intensif dan lebih terorganisir lagi secara strategis. Mudah-mudahan saja gangguan alam yang kini sedang banyak melanda beberapa wilayah produksi pangan Indonesia, seperti banjir yang terus berkepanjangan, hama penyakit, curah hujan yang sulit dideteksi dan sebagainya, tidak akan  mengganggu peningkatan  produksi beras. Disamping itu aplikasi teknologi tradisional yang berupa back to nature, kini harus sudah mulai dipikirkan secara seksama. Semoga !