URANG KAMPUNG BAU LISUNG

 URANG KAMPUNG BAU LISUNG
Terjadi Pergeseran Persepsi

Oleh DR Ir H. Rochajat Harun MEd.
__________________________________

 
 

 

Tahun 50-an sewaktu saya masih belajar di SR (Sekolah Rakyat), seringkali terdengar cemoohan orang terutama dari orang-orang kota terhadap masyarakat pedesaan dengan sebutan yang merendahkan, seperti orang desa itu kampungan, masyarakat bau lisung, budug, kuuleun, belegug, barodo, masyarakat bau taneuh dan banyak-banyak lagi. Saya merasa ucapan demikian itu cukup menyedihkan dan menyinggung perasaan. Apalagi saya sendiri adalah anak pedesaan, yang lahir dan dibesarkan di padesaan kampung Pasawahan Tarogong, pinggiran kota Garut, di tutugan gunung Guntur.

Predikat kampungan sebagai sebutan bagi masyarakat bawah (grass root) tersebut,  mungkin karena pengaruh budaya kolonial Belanda, atau jaman feodal, yang menganggap masyarakat desa itu adalah masyarakat miskin baik ilmu pengetahuan maupun hartanya. Sehingga dibedakan dengan masyarakat kota yang serba kecukupan dan elit serta  berpendidikan (educated society). Punya sebutan kelas menak. 

Sampai sekarang pun, terutama di desa-desa terpencil yang jauh dari perkotaan, persepsi dan kesan sebutan tersebut masih ada walaupun tidak sebanyak dulu. Akibatnya menjadikan orang-orang desa merasa rendah diri (minderwardig), carang takol, sumuhun dawuh, kumaha juragan wae. Implikasinya, serapan teknologi baru terhadap masyarakat pedesaan masih dibilang lamban.

Sejak 5 tahun terakhir, persepsi kampungan itu sudah banyak mengalami perubahan. Malahan istilah ”kampung” atau pilemburan itu seringkali digunakan untuk hal-hal tertentu dalam rangka promosi kegiatan, atau produk-produk tertentu termasuk produk wisata dan kuliner. Sehingga akhir-akhir ini istilah kampung banyak digunakan oleh masyarakat kota dan elit, dan menjadi kebanggaan mereka. 

Sebagai contoh ada beberapa rumah makan di Bandung yang sengaja menyajikan makanan khas kegemaran orang kampung, seperti angeun tutut, urab genjer, pais lauk, pais peda, karedok leunca, lalab sambel, semur jengkol dan sebagainya. Demikian pula berbagai jenis minuman dan makanan ringan seperti bandrek, bajigur, kulub suuk, seupan cau, gurandil, awug, ongol-ongol, surabi, dan apem. Itu semua ternyata bayak digemari orang kota, juga para turis asing.

Beberapa waktu lalu saya bersama beberapa teman, olah raga naik gunung di daerah Punclut  tempat olahraga dan rekreasi jalan kaki. Naik dari Ciumbuleuit, mendaki kearah utara. Walaupun melelahkan namun cukup menyenangkan. Dipinggiran jalan perdesaan yang tidak beraspal tersebut, banyak dijual berbagai makanan khas kampung semacam yang telah disebutkan tadi. Ternyata laku juga dan digemari oleh masyarakat kota dari golongan elit. Malahan ada juga beberapa turis asing yang hadir. Mereka duduk sila tutug, diatas amparan samak. 

Beberapa waktu yang lalu, saya pernah diundang makan disuatu restoran mewah yang terkenal di kota Bandung. Karena undangan ini datang dari seorang pejabat teras dari suatu instansi, ya saya datang juga. Yang menarik perhatian dari acara makan malam tersebut, adalah jenis sajian makanannya. Ternyata banyak makanan khas makanan kampung, seperti pais peda, urab genjer, karedok leunca, kere belut, ayam kampung goreng dan sebagainya. Minuman penutupnya ternyata bajigur , kulub cau dan gurandil.

Kiranya sekarang ini istilah ”kampung” sudah bukan lagi merupakan predikat rendahan. Dengan kata lain persepsi terhadap sebutan ini sudah banyak bergeser kearah positif. Buktinya, kata kampung kini banyak di gunakan untuk nama restoran / rumah makan, maupun penginapan / hotel.  

Di Garut misalnya, ada tempat penginapan dan rekreasi yang terkenal ”Kampung Sampireun” di daerah Samarang. Untuk nginap disana harus pesan dulu. Tarif nya cukup mahal, pakai dolar lagi. Ternyata tempat ini banyak digemari para turis asing maupun domestik.

Antara Leles dan Tarogong Garut, tepatnya di kampung Warungpeuteuy, ada sebuah rumah makan besar Layung Sari. Tulisan reklamenya cukup besar dan mencolok terpasang di pinggiran jalan besar: ”Menyediakan berbagai makanan khas kampung”. 

Didaerah Banjaran  Bandung, ada sebuah restoran Kampung Sawah. Ternyata disediakan berbagai makanan khas kampung. Setiap Saptu dan Minggu ternyata banyak pengunjung yang datang kesana, terutama dari luar kota dan Jakarta.

Di kota Bandung terdapat beberapa rumah makan yang menyajikan makanan khas  kampung, antara lain rumah makan Warung Kampung, Lembur Kuring, Bumbu Desa, Bancakan, Ampera dan sebagainya. Ternyata para pengunjungnya cukup banyak. Apalagi pada malam saptu dan minggu. Pasti penuh. 

Dengan demikian, bagi para insan yang berasal dari kampung, kini tak usah lagi merasa rendah diri. Malahan haruslah bangga karena persepsi terhadap predikat kampung kini sudah mengalami pergeseran kearah positif. Bahkan barang dagangan yang berasal dari kampung banyak digemari, sekalipun mahal. Misalnya ayam kampung banyak diminati dibanding ayam broiler. Demikian pula makanan khas seperti wajit Cililin dari kabupaten Bandung, angleng renyah buatan mang Uun dari kampung Nagrak Tarogong Garut. Opak Oded dari kabupaten Sumedang. Peuyeum (tape) ketan dari kabupaten Kuningan, dan masih banyak lagi makanan khas kamonesan orang kampung ternyata kini banyak disukai masyarakat kota.

Rumah-rumah adat kampung ternyata telah banyak juga dijadikan ikon pariwisata. Hal ini banyak dipromosikan oleh hampir seluruh kabupaten dan kota di Jawa Barat, pada event ”Jawa Barat Travel Exchange Fever 2008” yang diselenggarakan oleh Disbudpar Jabar di Braga City Walk tanggal 4-7 Juni 2008. Hampir setiap kabupaten mengeksposkan objek-objek wisatanya yang bernuansa kampung. Termasuk sajian kesenian tradisionalnya seperti, calung, reog, tagoni dan sebagainya.

Saya teringat kepada nasihat aki (kakek) saya 40 tahun yang lalu yang menasehati tentang cari jodoh: ”Mun bisa mah jang, neangan pipamajikaneun teh ulah urang kota. Mendingan urang  kampung. Sok sanajan loba kasebutna urang kampung  bau lisung. Salah anggapan kitu teh. Saenyana mah awewe asal kampung  mah tara loba pamenta, tara pupulasan merkela kawas urang kota. Kuat nahan gogoda. Kuat nyekel agama jeung drigama. Manut jeung taat ka salaki. Malahan etanana ge, leuwih cepel jang. Ha...ha...ha.”  Kini saya baru ngerti dan sadar akan makna nasehat almarhum aki tersebut.

 

______________________________