Ridha pada Ketentuan Allah

RIDHA
PADA KETENTUAN ALLAH

 

Allah.jpgKita wajib percaya sepenuhnya bahwa dalam menciptakan umat manusia, Allah SWT menetapkan sekaligus usia, rejeki dan jodoh buat manusia tersebut. Dengan demikian segala sesuatu yang baik atau yang buruk datangnya dari Allah SWT. “Katakanlah (hai Muhammad), semua itu datangnya dari Allah.” (Q.S. An-Nisa: 78). Akan tetapi Allah SWT sendiri mendorong manusia untuk tidak menyerah begitu saja kepada takdir. Firman-Nya: “Sesungguhnya Allah tidak mengubah nasib suatu kaum, kecuali mereka mengubah diri mereka sendiri”. (Q.S. Ar Ra’d: 11)

Sejalan dengan takdir tersebut maka kita diwajibkan beriman kepada adanya Qadla’ dan Qadar. Qadla’ itu ialah kepastian dan Qadar itu ialah ketentuan, yang kedua-duanya telah ditetapkan oleh Allah SWT untuk seluruh makhluknya. Adapun maksudnya beriman kepada Qadla’ dan Qadar ialah kita wajib mempunyai i’tikad dan keyakinan yang sebenar-benarnya, juga kepercayaan semantap-mantapnya, bahwasanya segala sesuatu yang dilakukan oleh seluruh makhluk, baik yang disengaja seperti makan, minum, duduk dan berdiri, atau yang tidak disengaja misalnya jatuh, tergelincir, pingsan dan lain-lain sebagainya itu seluruhnya adalah terjadi atas kehendak Allah SWT jua.

 

Sebagian orang ada yang berkata: “Jikalau semua kelakuan manusia, yang baik atau yang buruk itu sudah dipastikan oleh Allah SWT sejak zaman azali, maka kalau demikian manusia itu sesungguhnya tidak dipersalahkan apabila mengerjakan pekerjaan yang buruk dan tidak boleh disiksa karena pekerjaannya itu. Juga tidak dapat dibenarkan apabila mengerjakan kebaikan dan tidak boleh pula diberi pahala karena pekerjaan itu”.

 

Ucapan seperti itu amat keliru dan salah sekali, karena setiap manusia itu mempunyai kehendak yang keluar dari dirinya sendiri. Jikalau kehendak itu ditujukan kepada sesuatu kebaikan, maka muncullah kebaikan dan amal shalih. Dan jikalau ditujukan kepada sesuatu keburukan, maka muncullah keburukan pula.

 
 

Kecuali itu, manusia juga dikaruniai akal dan fikiran oleh Allah SWT. Jadi sudah pastilah ia dapat menggunakan akalnya dan pasti dapat mengerti serta membedakan mana-mana yang dianggap kebaikan, dan mana-mana yang dianggap keburukan. Oleh sebab itu, setiap kebaikan atau keburukan, sekalipun seberapa saja besar kecilnya, tentu wajib ada balasannya sendiri-sendiri. Allah SWT berfirman: "Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrahpun, pastilah ia akan mengetahuinya. Dan barangsiapa yang mengerjakan keburukan seberat dzarrahpun, maka iapun akan mengetahuinya”. (Q.S. Az-Zilzal: 7,8).

 
 

Dengan demikian, maka kita sekalian kaum mu’minin, sekalipun kita telah beriman dengan seyakin-yakinnya akan semua kepastian dan ketentuan itu datangnya dari Allah SWT, baik yang bagus maupun yang jelek, tetapi selamanya kita tetap wajib berikhtiar serta berdaya upaya sedapat-dapatnya dan sekuat mungkin, agar supaya dapat terlepas dari ketentuan yang jelek dan buruk serta hendaknya dapat memperoleh ketentuan yang bagus dan yang baik-baik saja.

 
 

Jadi tegasnya, kita wajib berusaha segiat-giatnya dalam bekerja, supaya jangan menjadi miskin, tapi dapat hidup berkecukupan. Giat belajar agar jangan sampai menjadi bodoh, tapi ber’ilmu banyak dan bermanfa’at, senantiasa menjaga kesehatan, supaya jangan menjadi sakit, tetapi senantiasa sehat dan sebagainya. Kita seluruh makhluk itu pasti tidak mengerti, qadar apakah yang ditetapkan oleh Allah SWT kepada kita. Makanya, wajiblah kita semua berikhtiar. Yang demikian itu memang perintah Allah SWT dan pula Rasulullah Muhammad SAW.

 
 

Orang yang enggan berikhtiar, pada akhirnya pasti akan sengsara sendiri, karena Allah SWT tidak akan mengubah nasib seseorang atau golongan, jikalau manusia atau golongan itu sendiri tidak suka berusaha keras untuk mengubah nasibnya sendiri. Ini sudah menjadi sunnatullah yang tidak dapat diubah untuk selama-lamanya.

 
 

Berikhtiar itu tidak ada batas waktunya sampai kita semua masuk ke liang lahat atau meninggal dunia. Jikalau pada suatu ketika kita telah berikhtiar dengan cukup, sedangkan yang kita maksudkan itu belum juga tercapai, maka wajiblah kita bertawakkal atau menyerahkan segala sesuatunya itu kepada Allah SWT dengan tawakkal yang sebenar-benarnya. Ringkasnya, bolehlah kita bertawakkal jikalau ikhtiar itu dirasakan sudah cukup luas. Sekalipun demikian ikhtiar itu belum boleh ditinggalkan dan masih tetap wajib diteruskan, karena memang tidak ada batas waktunya. Kecuali kalau ruh kita sudah keluar dari badan kasar.

 
 

Ridha terhadap ketentuan Allah SWT, artinya menerima semua kejadian yang menimpa dirinya dengan lapang dada, mengahadapinya dengan tabah, ridho, tidak merasa kesal maupun berputus asa. Didalam mengahadapi sesuatu yang kurang disenangi, seseorang mempunyai dua kemungkinan yaitu rela atau sabar. Rela ialah sifat utama yang disunahkan, sedang sabar ialah sikap yang wajib.

 
 

Orang-orang yang ikhlas dalam ibadah kadang-kadang dapat melihat hikmah dan kebaikan yang terdapat dalam cobaan dan tidak menuduh serta berburuk sangka kepada Allah atas ketentuan-Nya itu. Bahkan kadang-kadang ia dapat memandang kebesaran dan keagungan serta kesempurnaan Allah SWT yang telah memberikan cobaan kepadanya sehingga ia tidak merasakan sakit dan mengeluh atas cobaan yang diberikan-Nya. Orang yang dapat bersikap seperti demikian itu hanyalah para akhli ma’rifat dan mahabbah kepada-Nya saja. Bahkan mereka dapat merasakan bahwa cobaan yang diberikan-Nya itu sebagai nikmat dan karunia dari-Nya.

 
 

Perbedaan antara ikhlas dan sabar itu tipis. Bahkan jika kita tidak benar-benar memahami, kita menganggapnya sama. Ikhlas ialah berlapang dada, tenang dalam menghadapi ketentuan Allah dan menerima ketentuan itu tanpa adanya harapan untuk terbebas dari kesakitan dan penderitaannya itu. Sedangkan sabar adalah menahan diri dan berusaha mencegahnya dari perasaan marah dan kesal serta sakit hati dikala merasakan sakitnya terkena bencana atau musibah, sambil mengharap kepada Allah agar bencana atau musibah itu segera hilang dari dirinya.

 
 

Segala sesuatu yang terjadi pada manusia, baik musibah yang menimpa diri seseorang secara pribadi atau musibah yang menimpa masyarakat, bangsa maupun negara, itu semua berjalan menurut kehendak Allah SWT. Maka jika kita beriman kepada taqdirnya, maka Dia akan memberi petunjuk kepada kita. Rasulullah SAW. Bersabda: ”Iman kepada qadla’ dan qadar dapat menghilangkan keruwetan dan kesusahan”.

 
 

Dengan demikian  maka alangkah indah dan beruntungnya orang yang beriman kepada qadla’ dan qadar-Nya, disamping kita mendapatkan petunjuk seperti yang difirmankan oleh Allah SWT. dalam Al-Qur’an. Kita juga mendapatkan jalan keluar dari keruwetan dan kesusahan sebagaimana disabdakan oleh Rasulullah tadi. Tetapi sebaliknya orang yang tidak bersikap ridho terhadap qadla’ dan qadar-Nya , maka orang itu amatlah dibenci oleh Allah SWT.

 
 

Qadla’ dan Qadar jika dilihat dari segi keadaannya terbagi menjadi dua, yaitu: Qadar azali dan qadar ’am. Qadar azali ialah qadar yang sudah dapat dibaca sebelumnya, karena merupakan kebiasaan yang yang sudah berulang-ulang terjadi secara tetap. Misalnya: Matahari terbit dari arah timur, semua yang bernama makhluk akan mati. Sedang qadar ’am adalah qadar yang belum dapat kita ketahui sebelum qadar itu terjadi. Misalnya: Kapan orang ini akan mati dan dimana tempatnya ?

 
 

Qadla’ dan Qadar jika dilihat dari segi usaha dan ikhtiar manusia terbagi menjadi dua bagian, yakni: Mubram dan Muallaq. Pengertian Mubram ialah qadar yang sudah pasti, tidak dapat diubah oleh manusia. Qadar Muallaq ialah qadar yang masih digantungkan, menanti ikhtiar atau usaha manusia. Orang-orang yang lulus dalam cobaan yang diberikan oleh Allah, maka ia akan dipelihara dari syubhat, sedangkan orang-orang yang tidak lulus dalam menjalani cobaan atau ujian-Nya, maka orang tersebut telah menyimpang dari tuntutan agama.

 
 

 

 

___________________________

 

 

 

 

 

Rujukan utama:

  1. Imam Ghazali: Kiat Mempertajam Mata Batin. Pegangan Hidup Orang Beriman.
  2. Moh. Abdai Rathomi: 3 Serangkai Sendi Agama. Tauhid, Fikih, Tasawuf.
  3. Syamsul Rijal Hamid: Buku Pintar Agama Islam.