Khasiat Teh untuk Kesehatan

KHASIAT TEH UNTUK KESEHATAN
DAN UPACARA ADAT TRADISIONAL

 
 

bbppl-manfaat teh.jpgBagi sebagian orang, secangkir teh hanyalah sekadar minuman pelepas dahaga. Sebagian orang lagi menggemari teh karena mengikuti tradisi atau memang karena menyukainya. Para penggemar teh boleh berbahagia karena para ahli di dunia kedokteran telah meneliti dan menemukan bahwa teh mengandung banyak khasiat.

Ada beberapa unsur penting di dalam teh, yaitu kafein, teofilin, teobromin, tanin, dan sejumlah vitamin B kompleks. Kafein merangsang pusat sistem saraf dan pernafasan, proses metabolisme, serta memberikan efek hangat pada tubuh. Meskipun begitu, karena jumlah kafein dalam teh hanya sepertiga dari jumlah dalam kopi, diperlukan waktu beberapa menit untuk merasakan efek kafeinnya.
 
Teofilin dan teobromin mempu­nyai efek yang sama seperti kafein, tapi lebih ringan. Kedua unsur ini membantu menenangkan otot. Se­mentara itu, tanin memberikan cita rasa. Teh sendiri tidak mengandung kalori. Tapi, tentu saja, bila ditambah­kan gula dan susu, setiap cangkirnya menjadi mengandung 40-50 kalori.
 
Teh, terutama teh hijau, bebe­rapa tahun belakangan ini semakin dianggap di dunia Barat. Karena, di dalam teh hijau, unsur senyawa polifenol yang disebut EGCG 100 kali lebih efektif dibanding vitamin C, dan 25 kali lebih baik dari vitamin E dalam melindungi sel dari keru­sakan yang berhubungan dengan kanker, penyakit jantung, radang sendi, bahkan penuaan. Dalam satu kata, teh hijau merupakan super an­tioksidan. Hal ini diteliti oleh Lester Mitscher, PhD, seorang profesor kimia kedokteran dari Universitas Kansas, Amerika.
 
Sesungguhnya, di dunia kedokteran Cina, teh sudah lama diunggulkan sebagai minuman kesehatan. Justru bangsa Cina­lah yang pertama kali merasakan nikmatnya minuman ini. Me­nurut legenda, tanaman yang tergolong dalam rumpun cammelia sinensis ini ditemukan sekitar 4000 tahun silam. Ada berbagai versi cerita tentang bagaimana tanaman ini dite­mukan. Salah satunya adalah kisah Kaisar Shen Nung.
 
Sekitar tahun 2700 SM, berkuasalah seorang kaisar berna­ma Shen Nung di negeri ini. lailmuwan yang kreatif, dan pandai dalam bidang seni. Karena pengetahuannya tentang kesehatan yang juga luas, ia mewajibkan anak buahnya untuk merebus se­mua air minum.
 
Pada suatu hari. saat sedang berjalan-jalan di salah satu ta­nah kekuasaannya, sang kaisar dan anak buahnya berhenti un­tuk beristirahat. Seperti biasanya, ia meminta pelayannya untuk merebus air minum. Daun-daun kering yang berasal dari pohon ­pohon kecil yang terletak di dekat panci tempat merebus air ter­embus angin dan jatuh ke dalam panci tersebut. Hasilnya, ter­ciptalah cairan berwarna kecoklatan. Sang Kaisar begitu terkesima melihat cairan kecoklatan di dalam panci tersebut. Karena keingin ­tahuannya, ia langsung mencicipinya. Sesudahnya, tubuhnya menjadi se­gar. la memberi nama tanaman terse­but cha  atau teh dalam bahasa Cina. Lahirlah minuman baru di dunia!
 
Seperti ungkapan, lain ladang lain belalang, selera manusia pun terha­dap minuman teh ini berbeda-beda. Maka, bentuk dan rasa teh ini pun ke­mudian beragam. Berdasarkan proses pembuatannya, teh dapat digolong­kan menjadi tiga jenis: teh hijau, teh oolong, dan teh hitam.
 
Teh hijau adalah teh yang sama se­kali tidak melalui proses fermentasi. Setelah daunnya dipetik, ada 4 tahap­an yang dilewati, yaitu pelayuan, pen­dinginan, penggulangan daun, dan pe­ngeringan. Hasilnya berupa gulung­an daun berbentuk bola-bola hijau ke­abu-abuan. Setelah diproses secara keseluruhan, enzim di dalam daun­nya tetap tersimpan dan tidak mengoksidasi. Bila diseduh, hasilnya menjadi hijau-kekuningan yang pucat dengan cita rasa yang khas. Teh hijau adalah teh yang paling popular di Cina dan Jepang.
 
Teh oolong merupakan teh semi-fermentasi. Teh jenis ini a­dalah teh nomor satu di Taiwan. Setelah daunnya dipetik, dibiar­kan layu selama beberapa jam untuk menghilangkan kelembab­annya. Daunnya kemudian digiling dengan mesin untuk menge­luarkan airnya, diikuti proses fermentasi yang pendek sebelum dipanggang di oven. Setelah diproses, warna daunnya berubah menjadi seperti tembaga dan cita rasanya ringan, antara teh hijau dan teh hitam.
 
Teh hitam adalah teh yang difermentasi. Teh jenis ini paling banyak diproduksi di India (jenis teh ini juga yang digemari di In­donesia). Daunnya dilayukan dan digulung seperti teh oolong.Tapi proses fermentasinya jauh lebih lama, sehingga enzimnya terbuang, dan menghasilkan minyak yang melapisi bagian luar daun. Lalu, daunnya dikeringkan. Kadang-kadang teh ini diberi lapisan gula, bahkan kadang ditambah warna, aroma dan cita rasa lain.
 
Budaya minum teh meresap ke dalam berbagai aspek ke­hidupan masyarakat Cina. Bila Anda bertandang ke rumah seorang teman di sana, pasti akan disediakan secangkir teh. Pe­nyajian teh ini bukan hanya sekadar menunjukkan sopan santun, tapi juga merupakan simbol kebersamaan, berbagi kebahagia­an, dan menunjukkan rasa hormat kepada tamu. Sang tamu a­kan dianggap tidak sopan bila tidak mencicipi sama sekali teh yang telah dihidangkan. Bila teko teh yang pertama sudah ko­song, tuan rumah harus mengisinya kembali. Apabila yang ke­dua sudah habis pula, dan sang tuan rumah mengisinya yang ke­tiga kali, ini merupakan sinyal bahwa sudah saatnya sang tamu pulang.
 
Boleh dikatakan, sejak bangun tidur, minuman orang Cina a­dalah teh. Karena itu mereka pun menciptakan acara sarapan yang disebut Yum Cha, yang kini populer seputar dunia. Ini ada­lah acara makan pagi yang terdiri dari dim sum dan kawan-ka­wannya serta minuman teh.
 
Zaman dahulu, bila seorang wanita akan dilamar, keluarga dari pihak laki-laki harus memberikan teh sebagai hadiah. Pada saat itu, minuman teh merupakan minuman yang sangat berharga dan mahal. Bila sang wanita menerima hadiah tersebut, berarti lamar­annya diterima. Sampai dewasa ini, wanita yang akan dilamar masih menerima 'hadiah teh' atau chali dalam bahasa Cina, ta­pi tidak berupa teh. 'Hadiah teh' hanya sekadar istilah yang digu­nakan untuk pertunangan.
 
Ada juga adat istiadat teh yang berhubungan dengan masa­lah perjodohan, yaitu cha tao (teh pai, atau teh pengantin wanita). Kebiasaan ini menyebar di Selatan Cina, di antara masyarakat Asia Tenggara, bahkan di Amerika Serikat yang nenek moyangnya Cina. Pada hari pernikahan, pengantin wanita menawarkan se­cangkir teh kepada ibu mertuanya. Dengan menerima secang­kir teh tersebut, berarti sang ibu sudah menerima pengantin wanita sebagai menantunya.
 
Untuk menyeduh teh ala Cina, sebaiknya digunakan teko dari tanah liat atau porselen (lengkap dengan tu­tup) agar mendapatkan aroma yang maksimal. Airnya paling cocok diam­bil dari sumber mata air (di Cina. mi­numan teh dibuat dengan air dan ma­ta air paling dekat dan tempat teh disajikan).
 
Masukkan daun sepertiga hingga setengah teko penuh. Didihkan air, lalu biarkan dingin hingga sekitar 67 dera jat Celcius untuk teh hijau, 80-90 derajat untuk teh oolong. Penuhi teko dengan air seperempat penuh, lalu tuang se­cepatnya. Ini gunanya untuk mencuci teh, membuat daunnya mengembang, dan membuat teko panas. Isi kembali teko dengan air bersuhu sama. Diamkan selama 1-5 menit untuk teh hijau atau 15 detik hingga 1 menit untuk teh oolong. Tuangkan teh ke cangkir-cangkir kecil. Teh hijau bisa dise­duh ulang 2-3 kali. Sementara teh oolong, bisa diseduh ulang lebih dari 5 kali. Waktu menyeduh yang kedua, ketiga dan sete­rusnya harus lebih lama dari  yang pertama.
 
Di negara Sakura Jepang, tradisi minum teh pertama kali dibawa ke Jepang pada abad ke-12 oleh seorang pendeta Budha beraliran Zen bernama Abbot Eisai yang lama bermukim di daratan Cina. Karena ia berhasil menyembuhkan seorang pendekar samurai dengan teh, mlnuman ini menjadi populer dl negeri Sakura ini. Bahkan lahir tradisl minum teh bersama yang dlsebut Chanoyu.
 
Biasanya, acara Chanoyu dihadiri oleh 6 orang (tuan rumah dan lima orang tamu). Tempat penyelenggaraannya adalah sukiya atau rumah teh, yang terdiri dari kamar teh. Kamar persiapan, kamar tunggu, dan taman di bagian dalam rumah. Biasanya sukiya dibangun dibagian tersembunyi dalam suatu taman besar dan bisa dicapai mel­alui jalan setapak khusus. Para peserta (baik pria maupun wanita) memakai kimono sutra dan kaus kaki putih. Masing-masing juga nembawa kipas (yang bisa dilipat) dan sehelal serbet putih.
 
Ada empat bagian dari upacara ini yang biasanya memakan waktu empat jam. Pertama. disajikan makanan ringan, diikuti istirahat seje­nak. Lalu diikuti bagian utama upacara, yaitu penyajian teh yang kental. Terakhir, penyajian usucha, yaitu teh yang encer. Bagian terakhir ini biasanya memakan waktu sejam dan dilakukan sendiri-sendiri.
 
Tuan rumah harus mengantarkan semua tamunya ke sukiya. Di tengah jalan setapak mereka harus mencuci tangan dan mulut dari wadah air terbuat dari batu. Mereka lalu memasuki sukiya dengan merangkak (karena pintunya sengaja dibuat rendah) seolah me­rendahkan diri mereka. Sambil menunggu air yang sedang dimasak di tungku, mereka duduk untuk menikmati makanan ringan. Setelah selesai makan, tuan rumah mengajak para tamu untuk du­duk di ruang tunggu atau di bangku di ta­man bagian dalam rumah.
 
Upacara utamanya dimulai oleh tuan ru­mah dengan memukul gong. Saat para ta­mu masuk kembali, peralatan membuat teh sudah disiapkan. Antara lain, mangkuk teh, tempat teh, serta alat penyiduk dari bambu. Biasanya tuan rumah melakukan ritus mem­bersihkan peralatan teh sebelum menaruh 3 sendok teh hijau di masing-masing mang­kuk teh. Kemudian ia menuangkan air pa­nas ke masing-masing mangkuk dan meng­aduknya sampai menjadi kental (seperti sup kacang polong)
 
Teh yang digunakan berasal dari daun muda pohon teh yang berusia 20 sampai 70 tahun. Para tamu kemudian mengambil mang­kuk masing-masing, memberi hormat dengan membungkukkan badan kepada satu sama lain. Kemudian mereka menyeruput teh dari mangkuk yang diletak­kan di telapak tangan kiri dan dipegang oleh jari-jari tangan yang sa­tunya di bagian pinggirnya. Mereka (wajib!) memuji rasanya, lalu me­nyeruput dua kali lagi. Lalu mereka harus melap bagian pinggir mang­kuk yang tersentuh bibir mereka dengan serbet putih masing-ma­sing. Lalu, masing-masing 'mengoper' mangkuk ke sebelahnya.
 
Bagian terakhir adalah penyajian teh hijau yang encer. Teh ini di­buat dari daun pohon yang usianya di bawah 15 tahun. Tuan rumah hanya menaruh 2 1/2 sendok teh di masing-masing mangkuk. Se­tiap tamu harus menghabiskan seluruh isi mangkuk masing-masing. Kemudian, pinggiran mangkuk dibersihkan dengan jari-jari tangan ka­nan. Terakhir, mereka wajib melap tangan kanannya dengan serbet bawaannya.
 
Setelah usai, tuan rumah membawa semua peralatan keluar dari ruangan. la membungkukkan badan tanpa bersuara untuk memberi sinyal bahwa upacara telah selesai, sebelum mengan­tarkan mereka keluar dari sukiya. Tujuan dari upacara minum teh ini sederhana, seperti pemikiran Zen, yaitu untuk menenangkan pikiran melalui konsentrasi.
 
Teh hijau merupakan teh yang paling popular di Jepang. Ham­pir semua teh yang diproduksi di negeri ini merupakan teh hijau. Ka­rena permintaan di dalam negeri akan teh hijau begitu tinggi, jumlah yang diekspor ke luar negeri sedikit sekali.
 
Di Indonesia, upacara adat minum teh tidak sekental seperti di China dan Jepang. Namun ada pula dibeberapa tempat yang menggunakan air teh itu untuk upacara-upacara ritual tertentu, terutama untuk suguhan kepada para leluhur atau tempat-tempat yang dikeramatkan. Di beberapa daerah/kabupaten di Jawa, minum teh yang diseduh bersama gula yang disuguhkan pada para tetamu, selain sebagai minuman sehari-hari, adalah merupakan suatu keharusan. Seperti di daerah Cirebon minuman teh demikian disebut teh tubruk. Demikian pula di beberapa tempat di Jawa Tengah dan Jawa Timur, terutama Yogyakarta, ada kepercayaan bahwa katanya tanpa minum teh manis, bukanlah minuman yang sebenarnya.
 
Yang lebih unik lagi di daerah Garut selatan dan Ciamis, terutama di pedesaan, kebiasaan minum teh itu mempunyai kebiasaan tersendiri. Salah satunya adalah cangkir yang digunakannya adalah terbuat dari tempurung kelapa yang disebut Cangkir Batok. Katanya lebih nikmat, dan dipakai sejak baheula turun temurun berasal dari nenek moyangnya. Kini hal minum teh di cangkir batok tersebut ternyata banyak terdapat di restoran-restoran atau hotel berbintang di kota Bandung.
 
Mang Amat, salah seorang pedagang cangkir batok yang berjualan di simpangan Jln. Pasirkoja-Jalan Astanaanyar Kota Bandung, menyatakan bahwa cangkir batok itu ternyata kini banyak digemari masyarakat kota. Menurut dia, biasanya saat bulan Muharam atau Tahun Baru Islam, dia harus menyediakan cangkir batok lebih banyak dari pada bulan biasanya. Pasalnya, selain untuk keperluan minum teh, namun banyak pula pesanan cangkir batok untuk keperluan tertentu, antara lain orang yang mau mendirikan rumah, akikah, pernikahan, syukuran hamil tujuh bulanan, atau yang lainnya.
 
Apalagi, kebudayaan tatar Sunda, terutama di Bandung dan sekitarnya, kini tengah digiatkan kembali menjadi wisata kuliner. Berbagai makanan dan minuman tempo dulu, kini muncul kembali. Tentunya masakan dan minuman itu memerlukan wadah atau tempat yang khas pula, yaitu peralatan dari gerabah dan tempurung kelapa. Dan ini terdapat di rumah-rumah makan yang bernuansa pedesaan, seperti rumah makan Bumbu Desa, Lembur Kuring, Kampung Sawah, Panyileukan, dan sebagainya. Tak aneh apabila minuman tradisional khas Sunda seperti Citeh Panas, Bajigur, Bandrek, Goyobod, cendol, teh tubruk dan lain-lain, tempatnya menggunakan Cangkir Batok. Rasanya nikmat dan lebih bernuansa pedesaan. Silahkan mencobanya !