Aplikasi Andragogy Dalam Pelatihan

APLIKASI ANDRAGOGY DALAM PELATIHAN
Oleh DR Ir H. Rochajat Harun MEd. [1]
__________________________________

 
Rochajat Harun.jpg
            Proses pelatihan merupakan kontak sosial antara pelatih (Widyaiswara) dengan peserta latih dalam rangka mencapai tujuan tertentu. Disini dimaksudkan bukan hanya pihak Widyaiswara yang aktif, melainkan justru para peserta latih yang harus lebih aktif. Ini berarti dalam proses latih-berlatih terjadi adanya kontak antara pribadi yang satu dengan yang lain, baik antara pribadi Widyaiswara dan peserta latih, maupun pribadi peserta yang satu dengan yang lainnya.

 

            Pada saat ini masih banyak  dijumpai bahwa dalam dunia pendidikan kita termasuk kediklatan, masih banyak dijiwai oleh tradisi-tradisi lama. Salah satu yang menonjol adalah Widyaiswara benar-benar dominan dan main kuasa terhadap para peserta latihnya. Memang harus dipahami bahwa hal tersebut terjadi disebabkan oleh beberapa hal antara lain:

 

a)     Widyaiswara kurang memahami pentingnya hubungan antar pribadi dengan para peserta latih.

 

b)   Widyaiswara dikejar-kejar oleh waktu pelaksanaan program pelatihan, sehingga kurang dapat memperhatikan pribadi peserta latih.

 

c)   Secara umum masih dikatakan bahwa Widyaiswara belum atau kurang memahami tentang pentingnya layanan bimbingan kepada peserta latih.

 

d)     Ada kecenderungan pada Widyaiswara untuk memamerkan kemampuannya kepada peserta latih.

 

e)     Adanya semacam dorongan pada Widyaiswara untuk menguasai peserta latih. 

 

f)      Ada kecenderungan pada para peserta latih untuk ingin enak, tetapi bisa berhasil.

 

g)     Terbatasnya atau kurangnya fasilitas-fasilitas dalam pelatihan.

 

Secara teoritis dan operasional ada dua kelompokan metode pembelajaran yang telah dikenal di dunia pendidikan, yaitu pendidikan  orang dewasa atau yang dikenal dengan sebutan Andragogy. Yang kedua adalah cara pendidikan anak kecil atau anak sekolah, yang disebut Pedagogy.

 

John D. Ingalls [2] memformulasikan adanya empat konsep dasar yang membedakan Andragogy dan Pedagogy. Hal ini merupakan refleksi perbedaan konsep belajar/mengajar dari kedua jenis pendekatan pendidikan tersebut.

 

(1) Self-Concept. Konsep diri dari seorang anak adalah insan yang memiliki ketergantungan. Sebagai seorang yang tumbuh jadi dewasa, mereka berkembang kesadarannya untuk memperoleh kemampuannya dalam mengambil suatu keputusan sendiri. Pada saat yang bersamaan, mereka merasakan kebutuhan mendalam untuk lebih mampu bergerak sendiri. Perobahan konsep diri dari ketergantungan  kepada ke tidak tergantungan ini, berari seseorang mengalami perobahan kedewasaan jiwanya (psychological maturity)  memasuki masa dewasa (adulthood). Hal inilah yang menyebabkan insan dewasa berontak jiwanya terhadap tindakan-tindakan yang dianggap dirinya seperti seorang anak  kecil dan dianggap tolol. 

 

Masih adanya pelaksanaan kegiatan pendidikan dan latihan model tradisional/pedagogy, dimana menganggap peserta-latih seperti anak kecil yang seolah tidak tahu apa-apa terhadap yang diajarkan, menyebabkan anak didik atau peserta latih  berperilaku seperti itu.  Padahal sebagai insan dewasa mereka punya motivasi kuat untuk belajar tanpa diperlakukan seperti anak kecil. Inilah proses perobahan dari kegiatan teaching menjadi learning didalam suatu kegiatan diklat.

 

(2) Experience. Selama hidupnya, orang-orang dewasa memperoleh banyak pengalaman dalam berbagai hal. Pengalamannya tersebut merupakan modal penting dalam menghadapi berbagai masalah yang dihadapi yang sudah pasti selalu ada sepanjang hayatnya. Dilain pihak, anak-anak minim pengalaman, sehingga dalam menghadapi masalah dalam kehidupannya, tidak semampu orang dewasa.

 

Dalam pelaksaan pendidikan orang dewasa (Andragogy), pengalaman seseorang sangatlah berharga untuk proses belajar. Sedang dengan mnggunakan pendekatan pedagogy, pada umumnya nak-anak memerlukan selalu instruksi dan petunjuk dari guru atau pelatihnya. Biasanya melalui komunikasi satu arah seperti: kuliah dalam kelas, penugasan membaca, dan presentasi alat-alat peraga.

 

(3) Readiness to Learn. Sasaran utama pada kurikulum pedagogi adalah berkaitan dengan rentetan dan keterkaitan antara materi-pengajaran dengan tingkat kecakapan anak didik/peserta latih sehingga tercapai suatu tingkatan sebagaimana yang ditargetkan oleh guru atau pelatih. Bagi orang-orang dewasa kelengkapan dan persyaratan tersebut telah dimilikinya, sehingga mereka mampu mencapai tingkatan kecakapan tertentu melalui kegiatan-kegiatan membaca, menulis, dialog dan sebagainya sesuai dengan minat dan kebutuhannya.

 

Didalam pendidikan orang dewasa (Andragogy), upaya pengelompokan para peserta (learners) dimaksudkan agar mereka bisa mengidentifikasi apa yang menjadi minat dan kebutuhan belajarnya. Hal ini ditentukan oleh mereka sendiri, sedang pelatih hanyalah memfasilitasi agar mereka para peserta latih kondusip untuk belajar. Fasilitator berkewajiban menciptakan suasana belajar (social situation) yang sesuai dengan aktipitas dan tujuan belajar mereka.

 

(4) Time Perspective and Orientation to Learning. Dalam pendidikan cara pedagogi, siswa dipersiapkan terutama untuk pemecahan masalah dimasa yang akan datang. Sebaliknya pendekatan Andragogy, belajar/berlatih itu adalah merupakan “problem centered” bukan “ subject centered” seperti yang dianut pada pendekatan Pedagogy.

 

Peran utama Widyaiswara dalam proses pelatihan adalah sebagai fasilitator yaitu  membimbing proses Andragogy itu, bukan mengatur dan memberikan  mata ajaran sebagaimana terjadi pada cara-cara Pedagogy. Karena mata ajaran dalam Andragogy lebih banyak variasinya, tergantung pada minat dan sumber (resources) yang terdapat pada kelembagaan dimana dia bekerja atau berada. While the facilitator need not be an “expert” in the learning content, it is most desirable for him to have some “content” knowledge if he is to guide the “process” effectively. Demikian John D Ingells menegaskan.

 

Dan Suganda [3] menyatakan dalam suatu Seminar sehari: “Pelaksanaan Pendekatan Andragogi Pada DIKLAT”, yang dilaksanakan oleh Diklat Departemen Dalam Negeri Wilayah II di Bandung tanggal 22 Juli 1998, menyatakan bahwa sifat orang dewasa adalah sebagai berikut: O rientasi pemikiran pada pekerjaan; R entan perasaan; A ku (ego) nya kuat; NG eraknya relatif lamban; D asar pengalaman kerjanya luas; E selonnya sering mengekang; WA kal dan pikirannya lebih matang; S emangat belajar atas kesadaran; A lemannya bukan main. alarnya telah mapan; awasannya cukup luas;

 

            Sedangkan pendekatan Andragogi menurut Suganda adalah: A jak berpartisipasi aktif; N arasi teks diskusi dapat kompleks; D emokratis; R ole playing dan case study; A wasi secara longgar; G abungkan ke dalam kelompok; OG erakkan semangat belajarnya dengan sabar; I rama penyajian sesuaikan dengan kondisi. rientasikan pelajaran pada praktek;

 

Proses latih-berlatih pada kegiatan Diklat merupakan kontak sosial antara Widyaiswara dengan peserta-latih dalam rangka mencapai tujuan pelatihan tertentu. Ini berarti, bahwa bukan hanya pihak Widyaiswara yang aktif, melainkan justru para peserta-latih yang harus lebih aktif. Dengan demikian, maka dalam proses latih-berlatih terjadilah adanya kontak pribadi yang satu dengan yang lain, baik antara pribadi Widyaiswara dan peserta-latih, maupun antara pribadi peserta-latih yang satu dengan yang lainnya.

 

Metode merupakan faktor penunjang kelancaran pelaksanaan kegiatan pelatihan dalam rangka pencapaian tujuan pelatihan dan faktor pelatihan yang menyebabkan keberlangsungan proses latih-berlatih. Masing-masing pihak yang berinteraksi dalam pengajaran memerlukan metode pengajaran yang berlainan. Dengan metode mengajar yang tepat dapat diharapkan proses latih-berlatih/proses belajar-mengajar yang sedang berjalan berhasil baik. Metode melatih/mengajar yang baik adalah metode melatih/mengajar yang menyebabkan pihak yang belajar dapat melatih/mengajar dirinya sendiri.

 

Dalam kaitannya dengan pendekatan Andragogi (Pendidikan cara orang dewasa), yang menuntut adanya aktivitas peserta-latih dalam melaksanakan belajar secara intelektual, sosial dan fisik, maka di dalam pengajarannya, Widyaiswara dituntut untuk menentukan metode pelatihan yang dapat merangsang peserta-latih secara aktif dalam melakukan kegiatan belajar.

 

Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan oleh Widyaiswara dalam memilih suatu metode pelatihan  yaitu:

 

(1)    Kemampuan Widyaiswara yang bersangkutan dalam menggunakan metode tertentu.

 

(2)    Tujuan pelatihan yang akan dicapai.

 

(3)    Bahan pelatihan yang perlu dipelajari oleh peserta-latih.

 

(4)    Perbedaan individual dalam memanfaatkan inderanya.

 

(5)    Sarana dan prasarana yang ada atau yang dapat disediakan.

 

Berdasarkan hal-hal tersebut di atas diharapkan bahwa Widyaiswara dapat menentukan ketepatan dan efektipitas metode pengajaran yang digunakan dalam proses pelatihan yang menerapkan pendekatan cara belajar orang dewasa (Andragogi). Jika metode mengajar mampu membangkitkan aktivitas peserta-latih dalam pengajaran maka hal ini menunjukkan bahwa metode pelatihan tersebut merupakan metode yang efektif. Metode yang baik adalah metode yang  (1) memperhatikan prinsip-prinsip belajar, (2) mengutamakan aktivitas peserta-latih, (3) mempertimbangkan perbedaan individual peserta-latih, (4) merangsang peserta-latih berpikir dan bernalar, dan (5) memungkinkan terjadinya pertumbuhan dan perkembangan diri peserta-latih.

 

Untuk menentukan metode mengajar yang baik dan sesuai dengan tujuan pengajaran, maka Widyaiswara perlu menguasai berbagai metode pelatihan yang dapat diperoleh dari pedoman pelaksanaan kegiatan latih-berlatih atau kegiatan belajar-mengajar dalam kurikulum yang berlaku. Dalam hal ini perlu diperhatikan bahwa setiap metode pelatihan  memiliki kelebihan dan kekurangannya dilihat dari cara belajar peserta-latih, kondisi dan situasi kelas tempat belajar. Oleh karena itu, disarankan agar dalam kegiatan latih-berlatih dapat digunakan berbagai metode pelatihan secara kombinasi terpadu.

 

Beberapa teknik dan metode yang dapat diterapkan dalam hubungannya dengan pendekatan Andragogi, antara lain meliputi  (1) Teknik bertanya; (2) Metode diskusi; (3) Umpan balik dalam interaksi belajar-mengajar; (4) Metode karyawisata/widyawisata; (5) Metode bermain peran/sosiodrama; dan (6) Metode Analisa Kasus.

 

Hal yang menjadi permasalahan sekarang adalah tentang bagaimana proses terjadinya belajar aktip? Proses terjadinya belajar aktip adalah Widyaiswara memberikan informasi kepada peserta-latih dan menyuruh mereka untuk berpikir. Peserta-latih memberikan jawaban mengenai pendapatnya berdasarkan atas hasil pemikiran mereka sendiri setelah berdiskusi dengan temannya. Widyaiswara memberikan umpan balik kepada peserta-latih. Agar hal ini dapat terjadi, maka perlu diciptakan situasi belajar yang memungkinkan para peserta-latih dapat saling bertanya jawab.

 

            Situasi tersebut menuntut adanya komunikasi antara Widyaiswara dengan peserta-latih, maupun peserta-latih dengan peserta-latih lainnya. Dengan kata lain, peserta-latih  terlibat aktif dalam proses pelatihan. Hal ini berarti, kepada peserta-latih diberi kesempatan untuk berdiskusi dengan Widyaiswara, dan juga dengan temannya untuk memecahkan permasalahan yang sedang dibicarakan selama proses pelatihan. Disamping itu, umpan balik akan segera terwujud atau diberikan oleh Widyaiswara atau oleh teman sekelasnya kepada peserta-latih yang terlibat dalam interaksi pelatihan. Kepada peserta-latih diberikan kesempatan untuk terlibat secara aktif dalam proses pelatihan yang sedang dilaksanakan.

 

            Masalah yang perlu diperhatikan oleh Widyaiswara dalam proses pelatihan yang menerapkan pendekatan Andragogi adalah:

 

1.     Sejauh mana Widyaiswara memberikan dorongan kepada peserta-latih untuk bekerjasama dalam belajar?

 

2.     Sejauh mana Widyaiswara memberikan dorongan kepada peserta-latih untuk menggunakan hasil pengamatan dan pengalaman mereka sendiri sebagai bahan diskusi dikelas?

 

Jika kedua masalah di atas diperhatikan, maka aktipitas peserta-latih dalam segi intelektual, fisik dan emosional dalam proses pelatihan dapat terwujud. Dengan kata lain pendekatan Andragogi (pendidikan cara orang dewasa), telah dilaksanakan dalam proses pelatihan.

 

Pada hakekatnya di dalam kegiatan pelatihan yang menerapkan pendekatan Andragogi, pihak yang aktip dalam pengajaran bukan hanya peserta-latih, tetapi juga para Widyaiswara. Aktipitas Widyaiswara dalam kegiatan proses latih-berlatih dapat berupa penyajian permasalahan yang aktual kepada peserta-latih untuk didiskusikan oleh peserta-latih guna menemukan jawabannya. Apabila peserta-latih mengalami kesulitan maka Widyaiswara wajib membimbing dan mengarahkan sehingga peserta-latih dapat menemukan pemecahan permasalahannya.

_________________________ 

 



[1] Widyaiswara Utama pada BBPP Lembang, dosen UPI dan STPB.

[2] John D. Ingalls. (1973). Andragogy Concepts for Adult Learning. HEW’s Social and Rehabilitation Service, Waltham, Massachusetts. Halaman (5-9).

[3]  Widyaiswara LAN Perwakilan Jabar.