PEMBERDAYAAN MASYARAKAT MISKIN
Rochajat Harun
PEMBERDAYAAN MASYARAKAT MISKIN
Menggerakkan partisipasi masyarakat bukan hanya esensial untuk mendukung kegiatan pembangunan yang digerakkan oleh pemerintah, tetapi juga agar masyarakat berperan lebih besar dalam kegiatan yang dilakukannya sendiri. Dengan demikian, menjadi tugas penting manajemen pembangunan untuk membimbing, menggerakkan, dan menciptakan iklim yang mendukung kegiatan pembangunan yang dilakukan oleh masvarakat.
Upaya itu dilakukan melalui kebijaksanaan, peraturan, serta kegiatan pembangunan pemerintah yang diarahkan untuk menunjang, merangsang, dan membuka jalan bagi kegiatan pembangunan masyarakat. Dalam rangka ini, berkembang konsep pemberdayaan masyarakat yang pada hakikatnya memampukan dan memandirikan masyarakat. Namun dalam kenyataannya tidak semua program pemberdayaan masyarakat dapat berhasil sesuai dengan rencana. Bahkan ada yang jauh menyimpang dari konsep awal.
Salah satu contohnya adalah Program JPS (Jaringan Pengaman Sosial), yang pernah digulirkan pemerintah lebih dari 6 tahun yang lalu tampaknya menghadapi banyak kendala di lapangan. Penyebabnya, selain salah urus juga karena hambatan birokrasi dan ketidak mampuan aparat pemerintah di tingkat bawah.
Banyak pejabat daerah salah persepsi terhadap program JPS, sehingga penyalurannya tidak tepat sasaran. Akibatnya dana JPS menjadi kurang bermanfaat. Pejabat di daerah masih banyak yang menganggap pola JPS sama dengan pola yang berlaku di masa pemerintahan Orde Baru. Pada masa Orde Baru, berhasil dan tidaknya suatu program bantuan sosial diukur oleh habis tidaknya dana yang dikucurkan. Akibatnya, dana yang dibagi-bagikan ke masyarakat menjadi kurang bermanfaat dan acapkali banyak terjadi kebocoran.
Keberhasilan JPS, bukan ditandai dengan habis tidaknya dana yang dikucurkan atau berdasarkan prosentase daya serapnnya. Namun berapa besar warga miskin yang terjaring dan berhasil menerima dana JPS. Oleh karena itu, bila ada sisa dana harus dikembalikan kepusat, bukan dihamburkan dengan membuat program-program fiktif dengan dalih untuk menghabiskan dana.
Lemahnya infra struktur dan kualitas aparat pemerintah didaerah-daerah kumuh atau di kantong-kantong kemiskinan, merupakan faktor lain yang menjadi penyebab lambatnya proses pengembangan program JPS. Agar bantuan yang kecil berjangka pendek tadi bisa membawa manfaat, aparat wajib dan bersedia secara terbuka mengubah tingkah lakunya. Aparat pemerintah harus bertingkah laku sesuai dengan kondisi sosial politik yang berkembang saat itu.
Pernah diberitakan bahwa Bank Dunia / IMF membatalkan sisa bantuan US $ 300 juta, karena Pemerintah Indonesia dinilai telah gagal memenuhi persyaratan hingga batas waktu yang ditetapkan. Padahal bantuan itu untuk program Jaring Pengaman Sosial (JPS). Bank Dunia menilai sejumlah bantuan tidak sampai ke tangan yang berhak. Dari hasil kajian Bank Dunia, seluruh program JPS hanya sedikit mengurangi dampak negatif terhadap rakyat miskin.
Setelah itu muncul program baru BLT (Bantuan Langsung Tunai), sebagai kompensasi dari kenaikan harga bahan bakar minyak yang diberikan kepada masyarakat miskin. Ternyata tujuan baik pemerintah tersebut telah menimbulkan berbagai reaksi negatif dari berbagai akademisi, politisi maupun teknokrat. Bahkan terjadi konflik dan kerawanan sosial di masvarakat perdesaan (grass root).
Misalnya di Indramayu pernah terjadi ribuan Gakin (Keluarga Miskin) ragu bisa mendapatkan BLT. Ratusan ribu keluarga miskin dibayangi keraguan untuk bisa memperoleh jatah dana kompensasi BBM melalui BLT. Padahal mereka sudah antusias beramai-ramai mendaftarkan diri ke RT/RW dan kantor statistik hingga jumlahnya membengkak 100 % dibandingkan pada tahap pertama. Karena belum ada kejelasan, para warga miskin mengaku merasa percuma telah ramai-ramai mendaftarkan diri.
Berdasarkan catatan terakhir, jumlah warga miskin yang mendaftar untuk memperoleh BLT di Indramayu membengkak dua kali lipat dibanding sebelumnya. Saat tahap pertama, jumlahnya mencapai 141.605 KK. Belakangan berdasarkan verifikasi terakhir, jumlahnya mencapai 300.000 KK. Jumlah itu membengkak 2 kali lipat.
Kekhawatiran itu terkait dengan reaksi warga miskin yang merasa kesal. Apalagi di lapangan, saat mendaftar mereka penuh antusias., bahkan ada yang berani berhutang dengan mengandalkan pengembalian dari dana BLT.
Deputi Statistik Sosial BPS (Badan Pusat Statistik) Pusat Uzair Husaimi, saat menjadi pembicara dalam diskusi Publik bertema "Menyoroti Kebocoran dan Efektivitas Kebijakan Bantuan Langsung Tunai (BLT) dari Dana kompensasi BBM", menyatakan bahwa sebagian besar penerima bantuan program yang terkait dengan kemiskinan justru bukan orang miskin. Berdasarkan data dan informasi kemiskinan tahun 2004 di Indonesia, rumah tangga (RT) penerima bantuan kesehatan , 73,5 % bukan keluarga miskin, hanya 26,5 % RT miskin yang menerima bantuan. Untuk bantuan pendidikan , 66.7% penerima adalah RT tidak miskin clan 33,3% RT miskin. Demikian pula dengan bantuan raskin, 74,1 % adalah RT tidak miskin dan 25,9°% RT miskin.
Demikian pula dalam pelaksanaan program BLT, BPS tidak memiliki kepentingan. Tugasnya hanya sebatas memotret kondisi objektif di lapangan. BPS melakukan pendataan Gakin sangat singkat, jauh bila dibanding dengan waktu pendataan ideal. Untuk melakukan sensus , BPS membutuhkan waktu sekira tiga tahun. Sementara, untuk penyaluran BLT PKPS BBM hanya tiga bulan. Tugas yang sangat mendadak dan berat, bila melihat singkatnya waktu. Dari segi teknis jauh dari ideal. Apalagi bila melihat jumlah tenaga BPS yang terbatas.
Adanya lonjakan Gakin ternyata tidak hanya di Indramayu, tapi juga di Karawang. ribuan warga memalsukan data agar bisa mendapatkan KKB. Data Gakin tambahan di karawang membengkak hingga 100% lebih. Guna memperoleh kartu kompensasi BBM (KKB), ribuan warga di Karawang nekat memalsukan data yang menyatakan dirinya berasal dari keluarga miskin.
Di Tasikmalaya, sejumlah petugas pendata yang menjadi mitra Badan Pusat Statistik (BPS) Kota dan Kabupaten Tasikmalaya, untuk mendaftar warga penerima bantuan langsung tunai (BLT) minta mundur. Pengunduran mereka dengan alasan tidak tahan terhadap tekanan warga. Kendala lain yang dihadapi BPS Kota / Kab. Tasikmalaya saat ini adalah verifikasi data Gakin (keluarga miskin) tahap II. Pasca penyaluran dana BLT (Bantuan Langsung Tunai) tahap I yang masih menyisakan sejumlah masalah , kini telah dihadapkan pula dengan membengkaknya data susulan gakin tahap II.
Kondisi yang dihadapi untuk melakukan veritikasi data tahap II, jauh berbeda dengan tahap I yang lalu. Kini banyak petugas yang mundur, karena takut dan tidak kuat menghadapi banyak tekanan, terutama dari warga yang ingin masuk dalam daftar penerima Kartu Kompensasi BBM (KKB) atau penerima BLT.
Dari data dan kenyataan tersebut diatas, program BLT seyogianya dikaji ulang. Program tersebut banyak menimbulkan masalah, terutama akibat kurang meratanva pembagian BLT bagi warga miskin. Program BLT agar ditinjau ulang, karena banyak dampak kurang baik di masyarakat. Penyaluran BLT tahap I, telah memicu timbulnya tindakan anarkis dari warga miskin yang tidak terdata dan pembagian yang tidak merata.
Untuk mengganti program BLT, pemerintah seharusnya mencari alternatif lain yang tidak menimbulkan masalah dan bisa diterima banyak orang. Program bantuan ini sebetulnya baik, hanya saja teknis pelaksanaannya kurang sesuai. BLT sebaiknya disalurkan pada program padat karya dan sebagai dana bergulir bagi kebutuhan masyarakat miskin. Dalam padat karya ini, sebelum mendapatkan bantuan, warga terlebih dahulu melakukan sesuatu yang bisa membantu pembangunan wilayahnya, misalnya ikut serta dalam pembuatan jalan atau pembangunan lainnya. Dengan begitu sasarannya akan jelas.
Kompensasi dengan cara bagi-bagi uang kontan sangat tidak mendidik masyarakat. Di tengah situasi serba sulit, seharusnya pemerintah mendorong agar masyarakat makin kreatif. Yang dilakukan sebaliknya, malah pemerintah malah mengajak masyarakat untuk malas. Memperoleh uang tanpa mengeluarkan keringat. Seharusnya, disaat situasi sulit, pemerintah mampu meyakinkan rakyat untuk kreatif, bukannya malah pasrah dan mengandalkan dapat bantuan.
Memberdayakan masyarakat miskin, adalah upaya untuk meningkatkan harkat dan martabat lapisan masyarakat bawah (grass root), yang dalam kondisi sekarang tidak mampu untuk melepaskan diri dari perangkap kemiskinan dan keterbelakangan. Dengan kata lain, pemberdayaan (empowering) adalah memampukan dan memandirikan masyarakat miskin. Bukan malahan menjadikan mereka jadi para pengemis.
Pemberdayaan bukan hanya meliputi penguatan individu anggota masyarakat tetapi juga pranata-pranatanya. Menanamkan nilai-nilai budaya moderen seperti kerja keras, hemat, keterbukaan, kebertanggungjawaban, adalah bagian pokok dari upaya pemberdayaan ini. Demikian pula pembaharuan lembaga-lembaga sosial dan pengintegrasiannya ke dalam kegiatan pembangunan serta peranan masyarakat di dalamnya.
Pemberdayaan masyarakat amat erat kaitannya dengan pemantapan, pembudayaan, dan pengamalan demokrasi. Friedmann (1992) menyatakan: "The empowernment approach, which is fundamental to an alternative development, places the emphasis on autonomy in the decision-making of territorially organized communities, local self-reliance (but not autocracy), direct (participatory) democracy, and experiential social learning.
Setidak-tidaknya upaya pemberdayaan masyarakat seyogianya dilakukan melalui tiga upaya:
Pertama, menciptakan suasana atau iklim yang memungkinkan potensi masyarakat berkembang (enabling). Di sini titik tolaknya adalah pengenalan bahwa setiap manusia, setiap masyarakat, memiliki potensi yang dapat dikembangkan. Pemberdayaan adalah upaya untuk membangun daya itu untuk mendorong (encourage), memotivasi, dan membangkitkan kesadaran (awareness) akan potensi yang dimilikinya serta berupaya untuk mengembangkannya.
Kedua, memperkuat potensi atau daya yang dimiliki oleh masyarakat (empowering). Dalam rangka ini diperlukan langkah-langkah lebih positif selain dari hanya menciptakan iklim dan suasana. Perkuatan ini meliputi langkah-langkah nyata, dan menyangkut penyediaan berbagai masukan (input), serta pembukaan akses kepada berbagai peluang (opportunities) yang akan membuat masyarakat menjadi makin berdaya.
Ketiga, memberdayakan mengandung pula arti melindungi. Dalam proses pemberdayaan masyarakat miskin, harus dicegah yang lemah menjadi bertambah lemah, karena kurang berdaya dalam mengahadapi yang kuat. Oleh karena itu, dalam konsep pemberdayaan masyarakat, perlindungan dan pemihakan kepada yang lemah amat mendasar sifatnya. Dalam rangka ini, adanya peraturan perundangan yang secara jelas dan tegas melindungi golongan yang lemah sangat diperlukan.
Akhirnya, semoga BLT tahap berikutnya, sebagai salah satu upaya pemerintah guna memberdayakan masyarakat miskin, benar-benar memiliki konsep dan strategi yang lebih matang dan mengakar pada kebutuhan masyarakat miskin terutama di perdesaan.
Tanggal 31 Desember 2008, Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan dalam acara penyerahan bantuan menyatakan bahwa Pemprov Jabar mengucurkan bantuan keuangan untuk memfasilitasi lumbung pangan perdesaan dan cadangan pangan daerah sebesar RP 4 miliar dari APBD Jabar 2008. Bantuan diberikan kepada desa-desa dalam kategori berpotensi rawan pangan serta kelompok masyarakat yang terkena dampak gejolak harga pangan pokok.
Sebanyak 200 kelompok masyarakat dari 26 kab./kota menerima bantuan keuangan untuk memfasilitasi lumbung pangan, masing-masing Rp10 juta. Uang tersebut menjadi dana bergulir antar anggota dalam kelompok atau antarkelompok sebagai penguatan modal pengembangan usaha lumbung pangan perdesaan. Pembagiannya 80% untuk usaha simpan pinjam dan atau tunda jual gabah atau pangan pokok setempat. Untuk usaha produktif berbasis pangan itu paling tinggi 20%.
Akan tetapi, sampai saat ini baru 184 kelompok dari 23 kab./kota yang mencairkan dana bantuan. Tiga kab./kota yang belum mengajukan pencairan atau melengkapi berkas persyaratan pencairan, yakni Kab. Bekasi, Kota Bekasi, dan Kota Cimahi. Dengan demikian, dari total bantuan Rp 2 miliar, baru Rp 1,8 yang dicairkan. Sementara itu, bantuan cadangan pangan daerah diberikan kepada 17 kabupaten, dengan total bantuan Rp 2,014 miliar. Bantuan ini akan digunakan untuk membeli beras sebagai cadangan daerah untuk menghadapi keadaan darurat, rawan pangan, dan gejolak harga pokok.
Semoga saja upaya dan langkah-langkah yang dilakukan oleh Pemprov Jawa Barat tersebut akan lebih berhasil bila dibandingkan dengan upaya-upaya sebelumnya. Sehingga pemberdayaan masyarakat miskin di perdesaan, benar-benar tercapai sesuai dengan yang diharapkan dan direncanakan. Salah satu syarat yang banyak menentukan keberhasilan program pemberdayaan masyarakat itu adalah perlunya pengawalan yang ketat dilapangan, sehingga tidak lagi terjadi kebocoran-kebocoran, maupun data pelaporan yang fiktif.
Banyak pejabat daerah salah persepsi terhadap program JPS, sehingga penyalurannya tidak tepat sasaran. Akibatnya dana JPS menjadi kurang bermanfaat. Pejabat di daerah masih banyak yang menganggap pola JPS sama dengan pola yang berlaku di masa pemerintahan Orde Baru. Pada masa Orde Baru, berhasil dan tidaknya suatu program bantuan sosial diukur oleh habis tidaknya dana yang dikucurkan. Akibatnya, dana yang dibagi-bagikan ke masyarakat menjadi kurang bermanfaat dan acapkali banyak terjadi kebocoran.
Keberhasilan JPS, bukan ditandai dengan habis tidaknya dana yang dikucurkan atau berdasarkan prosentase daya serapnnya. Namun berapa besar warga miskin yang terjaring dan berhasil menerima dana JPS. Oleh karena itu, bila ada sisa dana harus dikembalikan kepusat, bukan dihamburkan dengan membuat program-program fiktif dengan dalih untuk menghabiskan dana.
Lemahnya infra struktur dan kualitas aparat pemerintah didaerah-daerah kumuh atau di kantong-kantong kemiskinan, merupakan faktor lain yang menjadi penyebab lambatnya proses pengembangan program JPS. Agar bantuan yang kecil berjangka pendek tadi bisa membawa manfaat, aparat wajib dan bersedia secara terbuka mengubah tingkah lakunya. Aparat pemerintah harus bertingkah laku sesuai dengan kondisi sosial politik yang berkembang saat itu.
Pernah diberitakan bahwa Bank Dunia / IMF membatalkan sisa bantuan US $ 300 juta, karena Pemerintah Indonesia dinilai telah gagal memenuhi persyaratan hingga batas waktu yang ditetapkan. Padahal bantuan itu untuk program Jaring Pengaman Sosial (JPS). Bank Dunia menilai sejumlah bantuan tidak sampai ke tangan yang berhak. Dari hasil kajian Bank Dunia, seluruh program JPS hanya sedikit mengurangi dampak negatif terhadap rakyat miskin.
Setelah itu muncul program baru BLT (Bantuan Langsung Tunai), sebagai kompensasi dari kenaikan harga bahan bakar minyak yang diberikan kepada masyarakat miskin. Ternyata tujuan baik pemerintah tersebut telah menimbulkan berbagai reaksi negatif dari berbagai akademisi, politisi maupun teknokrat. Bahkan terjadi konflik dan kerawanan sosial di masvarakat perdesaan (grass root).
Misalnya di Indramayu pernah terjadi ribuan Gakin (Keluarga Miskin) ragu bisa mendapatkan BLT. Ratusan ribu keluarga miskin dibayangi keraguan untuk bisa memperoleh jatah dana kompensasi BBM melalui BLT. Padahal mereka sudah antusias beramai-ramai mendaftarkan diri ke RT/RW dan kantor statistik hingga jumlahnya membengkak 100 % dibandingkan pada tahap pertama. Karena belum ada kejelasan, para warga miskin mengaku merasa percuma telah ramai-ramai mendaftarkan diri.
Berdasarkan catatan terakhir, jumlah warga miskin yang mendaftar untuk memperoleh BLT di Indramayu membengkak dua kali lipat dibanding sebelumnya. Saat tahap pertama, jumlahnya mencapai 141.605 KK. Belakangan berdasarkan verifikasi terakhir, jumlahnya mencapai 300.000 KK. Jumlah itu membengkak 2 kali lipat.
Kekhawatiran itu terkait dengan reaksi warga miskin yang merasa kesal. Apalagi di lapangan, saat mendaftar mereka penuh antusias., bahkan ada yang berani berhutang dengan mengandalkan pengembalian dari dana BLT.
Deputi Statistik Sosial BPS (Badan Pusat Statistik) Pusat Uzair Husaimi, saat menjadi pembicara dalam diskusi Publik bertema "Menyoroti Kebocoran dan Efektivitas Kebijakan Bantuan Langsung Tunai (BLT) dari Dana kompensasi BBM", menyatakan bahwa sebagian besar penerima bantuan program yang terkait dengan kemiskinan justru bukan orang miskin. Berdasarkan data dan informasi kemiskinan tahun 2004 di Indonesia, rumah tangga (RT) penerima bantuan kesehatan , 73,5 % bukan keluarga miskin, hanya 26,5 % RT miskin yang menerima bantuan. Untuk bantuan pendidikan , 66.7% penerima adalah RT tidak miskin clan 33,3% RT miskin. Demikian pula dengan bantuan raskin, 74,1 % adalah RT tidak miskin dan 25,9°% RT miskin.
Demikian pula dalam pelaksanaan program BLT, BPS tidak memiliki kepentingan. Tugasnya hanya sebatas memotret kondisi objektif di lapangan. BPS melakukan pendataan Gakin sangat singkat, jauh bila dibanding dengan waktu pendataan ideal. Untuk melakukan sensus , BPS membutuhkan waktu sekira tiga tahun. Sementara, untuk penyaluran BLT PKPS BBM hanya tiga bulan. Tugas yang sangat mendadak dan berat, bila melihat singkatnya waktu. Dari segi teknis jauh dari ideal. Apalagi bila melihat jumlah tenaga BPS yang terbatas.
Adanya lonjakan Gakin ternyata tidak hanya di Indramayu, tapi juga di Karawang. ribuan warga memalsukan data agar bisa mendapatkan KKB. Data Gakin tambahan di karawang membengkak hingga 100% lebih. Guna memperoleh kartu kompensasi BBM (KKB), ribuan warga di Karawang nekat memalsukan data yang menyatakan dirinya berasal dari keluarga miskin.
Di Tasikmalaya, sejumlah petugas pendata yang menjadi mitra Badan Pusat Statistik (BPS) Kota dan Kabupaten Tasikmalaya, untuk mendaftar warga penerima bantuan langsung tunai (BLT) minta mundur. Pengunduran mereka dengan alasan tidak tahan terhadap tekanan warga. Kendala lain yang dihadapi BPS Kota / Kab. Tasikmalaya saat ini adalah verifikasi data Gakin (keluarga miskin) tahap II. Pasca penyaluran dana BLT (Bantuan Langsung Tunai) tahap I yang masih menyisakan sejumlah masalah , kini telah dihadapkan pula dengan membengkaknya data susulan gakin tahap II.
Kondisi yang dihadapi untuk melakukan veritikasi data tahap II, jauh berbeda dengan tahap I yang lalu. Kini banyak petugas yang mundur, karena takut dan tidak kuat menghadapi banyak tekanan, terutama dari warga yang ingin masuk dalam daftar penerima Kartu Kompensasi BBM (KKB) atau penerima BLT.
Dari data dan kenyataan tersebut diatas, program BLT seyogianya dikaji ulang. Program tersebut banyak menimbulkan masalah, terutama akibat kurang meratanva pembagian BLT bagi warga miskin. Program BLT agar ditinjau ulang, karena banyak dampak kurang baik di masyarakat. Penyaluran BLT tahap I, telah memicu timbulnya tindakan anarkis dari warga miskin yang tidak terdata dan pembagian yang tidak merata.
Untuk mengganti program BLT, pemerintah seharusnya mencari alternatif lain yang tidak menimbulkan masalah dan bisa diterima banyak orang. Program bantuan ini sebetulnya baik, hanya saja teknis pelaksanaannya kurang sesuai. BLT sebaiknya disalurkan pada program padat karya dan sebagai dana bergulir bagi kebutuhan masyarakat miskin. Dalam padat karya ini, sebelum mendapatkan bantuan, warga terlebih dahulu melakukan sesuatu yang bisa membantu pembangunan wilayahnya, misalnya ikut serta dalam pembuatan jalan atau pembangunan lainnya. Dengan begitu sasarannya akan jelas.
Kompensasi dengan cara bagi-bagi uang kontan sangat tidak mendidik masyarakat. Di tengah situasi serba sulit, seharusnya pemerintah mendorong agar masyarakat makin kreatif. Yang dilakukan sebaliknya, malah pemerintah malah mengajak masyarakat untuk malas. Memperoleh uang tanpa mengeluarkan keringat. Seharusnya, disaat situasi sulit, pemerintah mampu meyakinkan rakyat untuk kreatif, bukannya malah pasrah dan mengandalkan dapat bantuan.
Memberdayakan masyarakat miskin, adalah upaya untuk meningkatkan harkat dan martabat lapisan masyarakat bawah (grass root), yang dalam kondisi sekarang tidak mampu untuk melepaskan diri dari perangkap kemiskinan dan keterbelakangan. Dengan kata lain, pemberdayaan (empowering) adalah memampukan dan memandirikan masyarakat miskin. Bukan malahan menjadikan mereka jadi para pengemis.
Pemberdayaan bukan hanya meliputi penguatan individu anggota masyarakat tetapi juga pranata-pranatanya. Menanamkan nilai-nilai budaya moderen seperti kerja keras, hemat, keterbukaan, kebertanggungjawaban, adalah bagian pokok dari upaya pemberdayaan ini. Demikian pula pembaharuan lembaga-lembaga sosial dan pengintegrasiannya ke dalam kegiatan pembangunan serta peranan masyarakat di dalamnya.
Pemberdayaan masyarakat amat erat kaitannya dengan pemantapan, pembudayaan, dan pengamalan demokrasi. Friedmann (1992) menyatakan: "The empowernment approach, which is fundamental to an alternative development, places the emphasis on autonomy in the decision-making of territorially organized communities, local self-reliance (but not autocracy), direct (participatory) democracy, and experiential social learning.
Setidak-tidaknya upaya pemberdayaan masyarakat seyogianya dilakukan melalui tiga upaya:
Pertama, menciptakan suasana atau iklim yang memungkinkan potensi masyarakat berkembang (enabling). Di sini titik tolaknya adalah pengenalan bahwa setiap manusia, setiap masyarakat, memiliki potensi yang dapat dikembangkan. Pemberdayaan adalah upaya untuk membangun daya itu untuk mendorong (encourage), memotivasi, dan membangkitkan kesadaran (awareness) akan potensi yang dimilikinya serta berupaya untuk mengembangkannya.
Kedua, memperkuat potensi atau daya yang dimiliki oleh masyarakat (empowering). Dalam rangka ini diperlukan langkah-langkah lebih positif selain dari hanya menciptakan iklim dan suasana. Perkuatan ini meliputi langkah-langkah nyata, dan menyangkut penyediaan berbagai masukan (input), serta pembukaan akses kepada berbagai peluang (opportunities) yang akan membuat masyarakat menjadi makin berdaya.
Ketiga, memberdayakan mengandung pula arti melindungi. Dalam proses pemberdayaan masyarakat miskin, harus dicegah yang lemah menjadi bertambah lemah, karena kurang berdaya dalam mengahadapi yang kuat. Oleh karena itu, dalam konsep pemberdayaan masyarakat, perlindungan dan pemihakan kepada yang lemah amat mendasar sifatnya. Dalam rangka ini, adanya peraturan perundangan yang secara jelas dan tegas melindungi golongan yang lemah sangat diperlukan.
Akhirnya, semoga BLT tahap berikutnya, sebagai salah satu upaya pemerintah guna memberdayakan masyarakat miskin, benar-benar memiliki konsep dan strategi yang lebih matang dan mengakar pada kebutuhan masyarakat miskin terutama di perdesaan.
Tanggal 31 Desember 2008, Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan dalam acara penyerahan bantuan menyatakan bahwa Pemprov Jabar mengucurkan bantuan keuangan untuk memfasilitasi lumbung pangan perdesaan dan cadangan pangan daerah sebesar RP 4 miliar dari APBD Jabar 2008. Bantuan diberikan kepada desa-desa dalam kategori berpotensi rawan pangan serta kelompok masyarakat yang terkena dampak gejolak harga pangan pokok.
Sebanyak 200 kelompok masyarakat dari 26 kab./kota menerima bantuan keuangan untuk memfasilitasi lumbung pangan, masing-masing Rp10 juta. Uang tersebut menjadi dana bergulir antar anggota dalam kelompok atau antarkelompok sebagai penguatan modal pengembangan usaha lumbung pangan perdesaan. Pembagiannya 80% untuk usaha simpan pinjam dan atau tunda jual gabah atau pangan pokok setempat. Untuk usaha produktif berbasis pangan itu paling tinggi 20%.
Akan tetapi, sampai saat ini baru 184 kelompok dari 23 kab./kota yang mencairkan dana bantuan. Tiga kab./kota yang belum mengajukan pencairan atau melengkapi berkas persyaratan pencairan, yakni Kab. Bekasi, Kota Bekasi, dan Kota Cimahi. Dengan demikian, dari total bantuan Rp 2 miliar, baru Rp 1,8 yang dicairkan. Sementara itu, bantuan cadangan pangan daerah diberikan kepada 17 kabupaten, dengan total bantuan Rp 2,014 miliar. Bantuan ini akan digunakan untuk membeli beras sebagai cadangan daerah untuk menghadapi keadaan darurat, rawan pangan, dan gejolak harga pokok.
Semoga saja upaya dan langkah-langkah yang dilakukan oleh Pemprov Jawa Barat tersebut akan lebih berhasil bila dibandingkan dengan upaya-upaya sebelumnya. Sehingga pemberdayaan masyarakat miskin di perdesaan, benar-benar tercapai sesuai dengan yang diharapkan dan direncanakan. Salah satu syarat yang banyak menentukan keberhasilan program pemberdayaan masyarakat itu adalah perlunya pengawalan yang ketat dilapangan, sehingga tidak lagi terjadi kebocoran-kebocoran, maupun data pelaporan yang fiktif.
___________________