Bangga jadi Petani, Pidi Baiq: Ciptaan Tuhan Jangan Dijual Murah, Kesannya Enggak Menghargai

Pidi Baiq, tentu bukan nama yang asing lagi di telinga kita, bukan? Seniman multi talenta asal Indonesia ini banyak dikenal sebagai penulis novel, buku, dosen, illustrator, komikus, musisi, hingga pencipta lagu. Karyanya seperti novel Dilan: Dia adalah Dilanku tahun 1990 yang terbit tahun 2014, Dilan Bagian Kedua: Dia adalah Dilanku Tahun 1991 terbit tahun 2015 dan Milea: Suara dari Dilan terbit tahun 2016 menjadikan nama Pidi Baiq identic dengan sosok penulis.

bbppl-pidibaiq

Lahir di Bandung, 8 Agustus 1972, Pidi Baiq menempuh bangku perkuliahan di Fakultas Seni Rupa dan Desain di ITB.

Namun, belum banyak yang mengenal bahwa sosok yang akrab disapa “Ayah” juga petani di Cibodas, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat loh! Dirinya telah memiliki lahan seluas 3000 m2 yang juga digarap oleh para petani milenial.

Sejak awal menyelami dunia pertanian, ayah dua anak ini memiliki prinsip yang unik. Pada setiap kesempatan ia kerap kali mengungkapkan bahwa produk pertanian adalah ciptaan Tuhan yang harus dihargai setinggi mungkin.

“Ciptaan Allah jangan dijual murah-murah, masa ciptaan manusia (mobil) kita berani bayar mahal, sama ciptaan Allah tidak?” kata pria berusia 49 tahun ini.

Seperti yang ditulisnya pada salah satu postingan Instagramnya (@pidibaiq)

“Selama ini saya dikomplain banyak orang karena menjual tomat dan stroberi dengan harga mahal. Saya udah jelasin, Pak saya gak mau menjual ciptaan Tuhan dengan harga murah, ga enak saya ke Tuhan. Kesannya enggak menghargai. Siapa yang bisa bikin tomat dan stroberi? Sedangkan ciptaan manusia mereka gak complain padahal harganya sangat mahal sekali,” tulisnya.

Pasalnya, ia pernah menjual tomat dengan harga Rp2.200.000,- per kg dan stroberi dengan harga Rp1.800.000,-

Sebagai petani asal Bumi Pasundan, tidak jarang Pidi Baiq menyempatkkan waktu untuk sharing santai dengan para petani milenial. Seperti Canda Tani, salah satu kegiatan rutin dari anggota Duta Petani Milenial (DPM).

Salah satu cerita yang sering dibagikan adalah bagaimana dirinya yakin bahwa bertani itu keren.

“Saya dikenal sebagai penulis. Namun saya lebih suka dikenal sebagai petani,” ungkapnya.

“Jika tulisan saya bagus, saya dapat membuktikan bahwa petani juga dapat menulis dan berkarya, namun suatu saat jika tulisan saya jelek saya tinggal bilang aja, saya kan petani, bukan penulis” lanjutnya yang kemudian disambut tawa para milenial.

Pidi berpesan agar generasi milenial tidak takut untuk mengambil risiko dan mencintai profesi sebagai petani.

“Jangan terlalu serius, yang penting senang. Toh, yang serius juga banyak yang akhirnya menjadi biasa-biasa,” katanya. DRY/YKO